Thursday, May 10, 2007


Apakah saya terjangkit Elektra Complex?

Entahlah. Belakangan saya merasakan kecenderungan aneh terjadi pada diri saya. Aneh? Ya. Sekarang saya akan lebih cepat "naksir" dengan pria yang berumur diatas 39 tahun.

Kenapa saya bilang aneh, mengingat pria-pria yang dekat dengan saya belakangan jauh berumur di bawah saya. Menurut saya mereka para pengidap Oedipus Complex..haha!

Entah kenapa belakangan saya merasakan bahwa para lelaki-lekai yang berusia antara 39-50 itu sangat lah menarik. Teman yang nyambung buat ngobrol, apalagi curhat, gak emosian, lebih bijaksana, dan sebagainya.

Kalo mau jujur, gejala ini sudah 3 tahun belakangan ini saya rasakan, cuma saya piker ini hanya perubahan cara berfikir atau memandang sesuatu saja. Sejak 3 tahun belakangan ini saya merasakan lebih cepat "klik" dengan lelaki di usia puber kedua ini. Lucunya lagi, saat saya berkenalan dengan pria yang saya tak tau umurnya, saya akan dengan mudahnya menebak umur mereka dari cara bertutur mereka.

Seorang sahabat pernah bilang: Saya trauma dengan masa lalu saya (mengingat mantan saya berumur lebih muda dari saya). Tapi saya piker-piker kok raanya penilaian teman saya itu salah sama sekali.

Menurut saya, alasannya adalah karena saat ini mata saya terbuka untuk tau bahwa lelaki-lelaki forty something itu emang lebih keren dan lebih seksi J . Liat aja Richard Gere, Bono, Sting, dan….okelah, saya bisa sebutkan contoh dari kalangan yang non selebritis, sebut saja Ahmady Meuraxa (huhuy..!), biar kata udah pada mulai tuwir, tapi mereka teteup charmed kan bow..??? :-p

Kata orang, mereka bisa terlihat begitu menarik karena pada usia itu mereka sedang mengalami masa perubahan fisik dan psikologis untuk memasuki tahapan baru dalam kehidupan mereka. Jadi sebenarnya boleh dibilang, pria-pria forty something itu sedang berada dalam masa krisis. Tapi mungkin itu juga yang membuat mereka terlihat lebih matang (dan lebih seksi! J )

Tapi satu hal yang mengganjal, dari hasil "temuan" saya, para pria in that period rata-rata sudah pada sold out (bwhahahaha…cian deh gw).Kalo pun ada yang masih avalaible biasanya mereka-mereka yang sudah married tapi sedang berada dalam krisis rumah tangga. Emang yang segituan ga ada yang single lagi? Ada sih..tapi biasanya alasan mereka untuk tetap being single sampe umur segituan (buat saya) lumayan "aneh" dan "nyeremin".

Ok. Lalu bagaimana saya bisa yakin jika saya tak terserang Elektra Complex? Ya, karena saya tidaklah terlalu dekat dengan ayah saya, bahkan jika ngobrol kami cenderung sering bertengkar, jadi mana mungkin saya mengidolakan beliau, bahkan mencari-cari figure yang mirip beliau?

Lalu apa dong? Itu yang sedang saya cari tau saat ini. Yang jelas, saya pernah mencoba membuktikan sesuatu.

Seminggu yang lalu saya "diundang" pada sebuah farewell party seorang ekspatriat dikantor saya. Farewell party sih biasa, yang ga biasa saat itu adalah, yang saya hadiri adalah special edition. Kenapa saya bilang special edition, karena pada versi yang satu ini, biasanya para tamu berasal daro organisasi lain, dan most of them are expatriates (dan kau bisa bayangkan acaranya seperti apa, bukan?)

Diantara tamu yang datang, saya berkenalan dengan beberapa pria, salah satunya seorang pria Jerman yang bekerja untuk organisasi yang concern di bidang politik. Arron, bukan nama sebenarnya , namanya. Wajahnya perpaduan Brendan Fraser dan Goerge Clooney. Rambutnya sedikit gondrong. Anaknya lumayan seru. Talkative. Ramah. Saya dan dia sempat ngobrol panjang tentang banyak hal. Dari hal yang serius sampe yang ga penting. Dia juga sempat mengajak melantai (saya tau dia tau banget, kalo saya paling ga suka hal yang satu ini, tapi dia cuma senyum-senyum aja sambil narik tangan saya). Well..not bad. Tapi..lha kok saya ga ngerasa ada chemistry apapun ya..Dia juga mengundang saya untuk hadir di partynya 2 hari kemudian, saya malah dengan ga sopannya maen nyeletuk aja " Sorry, I think I will be busy"..Wat a stupid and not nice answer..hehehe..

Biarpun begitu saya gak menyesal kok. Kita bahkan ga bertukar nomer henpon. Lucunya saya malah bertukar nomer henpon dengan bosnya yang kira-kira berumur 50-an.

Dasar ominizer! ooopss…




Saya tak suka musim hujan

Saya tak suka musim hujan. Tepatnya saya tak suka hujan. Meski kata ibu saya, hujan itu rezeki dan berkah, juga saat hujan turun adalah salah satu saat di mana setiap doa yang dipanjatkan saat itu diijabah. Tapi buat saya hujan tetaplah suatu hal yang menyebalkan.

Seorang teman pernah bilang bahwa ia malah "tergila-gila" pada hujan. Buat dia hujan adalah saat yang paling romantis, karena setelah hujan akan ada pelangi, lalu akan hadir bau tanah yang menyengat (bukannya bau lumpur, bu? dan becek yang bikin sepatu kesayangan kita jadi lembab dan kotor hehehe..). Seorang sahabat yang lainnya malah bilang, dia sangat suka jika sepanjang malam ada hujan, karena ia akan tertidur lebih nyenyak.

Buat saya, hujan itu romantis bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bukan buat orang yang lagi patah hati kayak saya J.

Boro-boro hujan. Mendung saja sudah bikin saya kehilangan mood. Sedih. Gundah. Meski saya sedang tidak punya masalah ruwet, tapi saat awan hitam menutupi langit, atmosphere yang bbisa saya rasakan saat itu hanyalah muram. Tak ada yang lain.

Hujan juga buat saya penghambat segala rencana. Janji dengan seseorang bisa tertunda atau bahkan batal karena hujan. Sepatu yang baru disemir mengkilat takkan ada apa-apanya saat hujan. Belum lagi rencana hunting foto yang kerap tertunda karena hujan (selain bikin kamera kena air, hujan kan bikin warna langit jadi ga keren sama sekali, ya gak? ;) ). Belum lagi mati lampu yang sering mengiringi hujan turun. dan itu bisa berjam-jam, seperti tadi malam (dari jam 5 sore sampe jam 5 pagi). Dan yang lebih nyebelin, kalo ujan, ongkos becak jadi naik dua kali lipat.

Sahabat saya pernah mencoba menganalisis. Kata dia, mungkin saya punya trauma tentang hujan. Setelah saya pikir-pikir kok saya ga menemukan kejadian apa-apa yang menjadi penyebab ketidaksukaan saya pada hujan.

Yang saya ingat, waktu kecil, saat hujan turun, saya diwajibkan masuk ke dalam rumah. "Nanti kamu disambar petir," begitu alasan ibu saya saat itu. Tapi bukan berarti saya tak pernah menikmati saat-saat mandi hujan bersama anak-anak seusia saya, meski sesekali.

Yang bisa saya ingat juga, saat hujan jika ibu saya belum pulang kerja saat hujan mulai turun deras, perasaan saya akan menjadi sangat sedih, seolah-olah saya akan kehilangan ibu saya selamanya. Entah apa pemicu munculnya perasaan tersebut, sampai detik ini pun saya belum menemukan jawabannya.

tik.tik.tik.tik.
Suara air hujan jatuh membasahi atap, adalah suara yang paling ga ingin saya dengar.
Terlebih-lebih saat saya berada di lapangan dan berhari-hari tak bisa pulang kerumah.
Biasanya jika hujan mulai turun hal yang pertama saya lakukan adalah menelpon ke rumah (padahal di rumah juga belum tentu hujan J . Lalu menelpon ibu kos saya, meminta tolong agar sesekali "menjenguk" kamar kos saya, seraya menyertakan request tambahan: tolong selamatkan buku-buku dan laptop saya jika sesuatu terjadi. Maksud saya jika kamar kos saya kebanjiran lagi. Lagi?

Ya lagi. Beberapa bulan yang lalu saya pernah kebanjiran. Padahal hujan hanya turun selama 2 jam. Dan saya sedang tidak berada di lapangan melainkan di kantor.

Asumsi saya, karena hujan yang disertai angin itu hanya turun selama 2 jam, dan tidak ada tanda-tanda banjir di sekitar kantor, maka saya tenang-tenang saja. Sepulang kantor saya malah menyempatkan diri untuk ke kota dengan maksud makan malam.
Dan ketika saya pulang, taukah kau apa yang terjadi? saya mendapati kasur saya sudah terendam air nyaris setengahnya., rak buku dan buku-buku saya basah, compo saya terendam air, dan beberapa CD saya ikut terapung-apung. Perasaan saya saat itu benar-benar sulit dilukiskan. Karena tak ada yang menyangka ini terjadi. Bahkan ibu kos saya juga tidak.

Mereka bahkan semula tidak percaya waktu saya bilang kamar saya kebanjiran. Anehnya lagi beberapa tempat malah tidak basah sama sekali, yakni daerah yang berada tepat di bawah jendela, lubang angin dan pintu. Lalu dari mana air itu datang? Ternyata air itu datang dari lubang angin, sodara-sodara! Maksudnya tempias alias air yang dibawa oleh angin yang sangat kencang berhembus mengiringi hujan.

Lalu dengan perasaan kesal bercampur marah dan sedih, saya bongkar semua isi kamar, mengeringkan semua yang ada, kecuali kasur. Untung saya punya kasur cadangan, yang entah kenapa saya beli seminggu sebelumnya , seperti seolah ada firasat ini akan terjadi.

Hujan (masih) betul-betul sesuatu yang menakutkan (buat saya).

Wednesday, May 09, 2007

KeDunguan saya memilih Kado

Saya dungu. Ya, saya akui itu. Maksudnya untuk hal yang satu ini: memilih kado untuk orang lain.

Saya juga ga tau kenapa begitu. Genetik? Rasanya ga juga (hehehe..nyari kambing item nih critanya), saoalnya ibu saya boleh dibilang lumayan jago untuk urusan yang satu ini.

Lha saya..?

Ironisnya, saya lumayan sering mengingat ulang tahun teman-teman dekat, dan selalu diiringi dengan niat memberikan hadiah pas hari H. Tapi niat tulus itu, sayangnya tak difasilitasi dengan kecemerlangan otak atau kreativitas,even Cuma buat milih..cian deh gue..hehehe..

Eitss..tapi jangan salah, waktu SMU saya lumayan sering (maksudnya beberapa kali, nyobain bikin sendiri, kado-kado yang mau dikasi ke temen atau gebetan…huahahaha..Dan hasilnya tak satu gebetanpun sukses saya dekatin..Soalnya kado-kado buatan saya lebih sering diketawain karena "aneh". Misalnya saya pernah bikin notes dari kertas folio, tapi covernya dari kardus, dan perekatnya dari tali rafia, udah gitu covernya saya tuliskan nama sang calon pemilik pake butiran merica. Dianya sih seneng pas menerimanya, tapi besok-besoknya saya malah dijuluki juragan merica. Siyal!

Saya juga pernah menghadiahkan seorang kecengan (hi..there.. J ) sebatang coklat gede yang dibungkus kertas daur ulang dan ga pake lem sama sekali, karena cuma dililit pake tali rafia. Trus kartunya saya bikin dari potongan kardus. Saya masih inget, ekspresinya saat menerima kado dan kartu buatan saya…(tersipu-sipu *mode on *).

Kalo diinget-inget, rasanya saya ga terlalu dungu-dungu amat. Tapi lha kok makin kesini saya makin bingung saja jika saya diserahi tugas atau harus memilih kado untuk dihadiahkan pada teman atau kerabat. Sumpah. Saya bener-bener kalang kabut. Lalu menjadi dungu, karena pilihan-pilihan tolol saya. Tau gak, saya pernahd engan anehnya, malah membelikan sebuah pitcher dan beberapa gelas bergambar tokoh kartun untuk hadiah perkawinan teman. Waduhh…Lalu saya juga pernah membelikan sebuah vas kayu untuk salah seorang expatriate yang end of mission, dan akhirnya vas itu dikasi ke maid di residentnya. Siyal.

Suatu saat saya juga pernah menghadiahkan sepasang pigura (yang menurut saya) lucu, tapi begitu saya minta pendapat ibu saya, ia malah speechless dgn air muka yang sulit saya lukiskan. fiuuh…

Sejak saat itu, saya lebih suka memilih jalan aman: memberi coklat atau tidak memberi apapun.

Aduhh..ada yang bisa kasi saran ga, atau mungkin kursus singkat gimana caranya memilih kado yang baik dan benar.

ps. eh, percaya gak, saking ga pedenya saya malah ga pernah ngasi pacar saya kado :-). takut salah…




Thursday, May 03, 2007

Outbounding activity?? Tidakkk……

Begitulah kira-kira jawaban spontan saya saat ini ada yang dengan senang hati mengajak saya melakukan kegiatan alam bebas.

Anehkah ini? Buat saya ini cukup aneh. Mengingat dulu saya adalah penggila kegiatan beginian. Sebutlah kemping meski nginepnya di tenda dan kehujanan, rasanya saya ga pernah kapok melakukannya. Arung Jeram juga. Saya malah sangat tergila-gila pada olah raga yang satu ini, meski saya ga bisa berenang. Kecuali naek gunung. Alasannya Cuma satu: saya takut ketinggian (tersipu-sipu malu*mode on*).

Tapi biar begitu saya selalu antusias untuk jenis kegiatan begini. Menyusuri hutan, mandi lumpur, bukanlah hal yang menyiksa buat saya. Saya bahkan sangat menikmati semua itu.

Namun sejak saya pindah ke kantor yang
ini, dan pindah ke departemen saya yang sekarang, keinginan saya untuk melakukan perjalanan dan petualangan-petualangan itu lagi perlahan sirna. Mungkin penyebabnya, karena pekerjaan saya ini memang bisa dibilang 80 persennya adalah outbonding activities. Bayangkan saja, bisa dibilang hampir tiap minggu saya keluar masuk hutan, bukit dan daerah-daerah pedalaman. Menempuh 1 aau 2 jam perjalanan dengan jalan kaki keluar masuk hutan, bukanlah suatu istimewa.

Dua bulan yang lalu saya bahkan tersesat selama 2 jam dalam gunung dan rimba yang bisa dibilang jarang dilintasi orang. Untungnya saya tak sendiri. Ada 2 bule dan seorang teman mantan anak PA yang ikut bersama saya. Itu bukanlah bagian terberat, karena bagian terberatnya adalah saat musti menyeberang sungai yang airnya sangat deras dan hanya berjembatankan seutas ranting pohon dengan ketinggian 60 derajat. Saking paniknya, saya sudah memutuskan untuk berhenti di situ, dan mempersilahkan anggota tim yang lain untuk melanjutkan perjalanan. Enatah terlatih bagaimana, para lelaki itu berhasil meluluhkan kekerasan hati saya dan berhasil membujuk saya untuk menyebrang sungai itu dengan jembatan ranting pohon itu. Dan taukah kau, bahwa salah seorang dari mereka sudah siap-siap menyambut saya (yang tak pandai berenang ini) di dalam air. Akhirnya berbekal kenekatan dan kepasrahan saya putuskan untuk menyusuri jembatan itu dengan kaki dan tangan saya. Dan alhamdulillah saya tiba di seberang dengan selamat. Semua pun bertepuk tangan dan menyalami saya. Huh…sebuah pengalaman menakjubkan sekaligus memalukan..hihihi..

Paling beruntung adalah jika bisa menempuh perjalanan dengan motor sewaan. Meski jantung dan adrenalin akan berpacu tiada henti, karena jalur yang bisa dilewati hanyalah selebar ban motor (yang dirantai, saking licinnya jalur yang harus di tempuh), selebihnya adalah jurang. Alhamdulillah dari sekian perjalanan itu tak sekalipun kecelakaan saya alami. Subhanallah.

Tapi tak urung semuanya membuat saya “jenuh” dan muak dengan aktivitas sejenis. Cukup saat bekerja saya harus bergelut dengan semua itu. Peduli amat, mau dibilang suasana pegunungan itu seger, bagus banget buat kesehatan dan paru-paru atau apalah. Buat saya saat ini suasana hiruk pikuk kota besar adalah hal yang paling saya tunggu. Dasar ndeso.. :-)



Heyyyy…I am not desperately seeking for the partner

Setelah perenungan dan percakapan baik dengan diri sendiri maupun dengan beberapa sahabat tentang keinginan menikah (atau cuma punya pacar), suka duka dan konsekuensi yang harus ditanggung, maka saya menyimpulkan bahwa saya tidaklah sedang desperately untuk menikah (lagi).

Mengingat bahwa saya adalah pembosan akut, pemalas berat, dan ga pernah bisa diatur. Belum lagi saya terlahir dengan gen “ceroboh dan sangat grasak-grusuk” yang sangat kuat (makasih ya Yah.. J), maka saya pikir mungkin ini memang best periodnya saya *halah*.

Saya hanya butuh teman mengobrol yang sejiwa, teman diskusi yang enak, netral (emangnya Palang Merah??) dan tidak tendensius (thanks a lot ya Aulia..). Sebelum pindah ke kota ini, saya punya beberapa sahabat yang bisa mengakomodir “kebutuhan” saya ini. Sebut saja bang romy, ayuk, said, kak chia, kak anggie dan masih banyak lagi. Belum lagi teman-teman yang siap 24 jam menerima telpon dari saya. Betapa beruntungnya saya saat itu.

Namun sejak kepindahan saya ke kota petro dollar ini 2 tahun yang lalu, semuanya perlahan-lahan sirna. Jarak memanglah sangat ampuh untuk merenggangkan segalanya (Damn Long Distance Relationship!). Meski saya masih sering berkontak dengan mereka via telpon, akan tetapi tetap saja saya butuh kedekatan secara fisik. Yah gimanapun ngobrol tuh kan enaknya face to face, mata ketemu mata, apalagi bisa saling jitak..hehehe..

Setelah bertualang setahun lebih untuk mendapatkan teman sejiwa di kota ini, akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan petualangan saya. Karena semua memang sia-sia. Bukannya saya tak berhasil mendapatkan teman ngobrol yang asik, tapi mencari teman yang tulus dan tak punya tendensi apapun di balik segala kebaikannya itu yang sulit. Terlebih-lebih jika ia tak satu jenis kelamin denganmu.

Hal itu juga yang kerap saya temui di sini. Baik sih baik, asik sih asik..tapi hidden missionnya itu makkk…ga tahan…hehehe..(kecuali Mainalnya si Aulia..cuit..cuit..)

Maka saya pun menetapkan hati untuk menghentikan perburuan teman ini, dan “memasrahkan” hati dan diri pada apa yang ada di depan mata. Yah, setidaknya itu membuat “beban” saya menjadi lebih ringan.

Dan akhirnya Tuhan menjawab dan mengabulkan doa saya. Beberapa bulan yang lalu saya dikirimi tuhan dua mahluk aneh bin ajaib. Teman kantor tapi asik juga kok diajak jalan dan “diajak gila”. Dua mahluk aneh tapi juga kerap menjadi guru buat saya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Sejak saat itu, hidup saya tak lagi sepi.

Dan saya sudah berani bilang: Heyy.. I am not desperately seeking for a partner..being single is a great fun J !!!


Wednesday, May 02, 2007

EX Smoker

Itulah julukan saya saat ini (meski ga sepenuhnya eks juga, soalnya saya masih suka nyuri-nyuri rokoknya Indra atau si Arief..hihihi)

Sebenarnya saya juga bukan a heavy smoker, karena saya tak begitu tergantung sama benda yang satu ini. Saya hanya membutuhkannya pada saat tertentu (baca: menjelang deadline, saat stres, atau grogi). Tapi biasanya saya selalu punya stok di tas. Menthol favorit saya(Marlboro dan LA Lights). Sensasi mintnya saya suka. Namun pada akhirnya saya harus rela mengganti Menthol taste dengan rokok putih biasa, mengingat saya menjadi lebih gampang pilek sehabis merokok.

Namun ternyata, pilek saya tak kunjung sembuh, meski saya bolak balik mengkonsumsi
obat anti alergi. Dan penyebabnya ternyata (menurut dokter langganan saya) : kebiasaan merokok saya. Artinya saya harus menghentikan kebiasaan merokok saya sama sekali jika ingin alergi dan sinusitis saya (yang ga bakal sembuh itu) tak gampang kambuh. Siyal.

Akhirnya berbekal tekad yang kuat (bukan apa-apa, saya capek banget minum obat yang bikin saya ngantuk setengah mati setelah itu), maka saya putuskan untuk berhenti merokok plus jogging. What??? Jogging??? Yeaah..babe..jogging, saya melakukan jogging atas saran seorang teman, agar kondisi saya lumayan fit, dan resiko kekambuhan sinus saya semakin berkurang. Benar saja, setelah 6 bulan jogging kayak orang gila (sendirian, muter-muter pendopo tiap sore), saya merasa badan saya enakan dan jarang pilek. Dann..percaya gak, saya gak bisa merasakan sensasi yang sama yang dulu saya rasakan saat saya merokok sebelum “ritual jogging” ini saya lakoni. Hisapan pertama saja saya sudah nyaris batuk, lalu hisapan kedua kepala saya langsung pusing. Kata salah seorang teman, itu karena paru-paru saya sudah bersih. Saat itu saya pikir, saya sudah musuhan dengan rokok

Namun ini tak berlangsung lama. Sejak pindah kerja ke Lhokseumawe, sebuah kota kecil nan jauh dari hiruk pikuk kota besar, saya jadi tergoda merokok lagi. Hal ini bermula dari tekanan kerja dan “kebingungan” saya dalam beradaptasi dengan kota yang buat saya (pada awalnya)“ asing dan ga ramah banget”. Di tambah lagi, dengan merokok saya merasa punya senjata melawan “ kemapanan” disini. Kemapanan di sini maksud saya, anggapan orang-orang di sini bahwa yang ngerokok itu perempuan ga bener. Aneh. Padahal nenek saya juga ngerokok, tapi ga pernah di cap ga bener. Selain itu saya juga semakin sering merokok dan jumlah batang rokok yang saya habiskan juga akan lebih banyak jika saya sedang berada di takengon (untuk mengusir dingin yang menyergap, saya kerap merokok dengan hisapan yang dalam dan merokok nonstop kayak kereta api J )

Tak lama sinusitis saya pun kembali kambuh. Dokter THT saya yang baru ini pun memberi petuah serupa dengan dokter THT saya yang terdahulu: Berhenti merokok kalo mau baikan. Siyal.

Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk (kembali) merokok. Meski lumayan berat, karena godaanya guedee banget. Dari mulai rokok gratis, sampe musim ujan yang bikin udara jadi dingin banget.

Meski bukan perokok berat, lagi-lagi harus saya akui bahwa perjuangan saya (mungkin) tak kalah berat dibanding dengan the heavy smoker (sok tau *mode on*). Maka berbagai cara saya coba untuk mencari pengganti rokok yang bisa memberi sensasi yang kurang lebih sama.

Hampir setahun lamanya, akhirnya saya menemukan bahwa COKLAT juga bisa ngilangin grogi bahkan stres saya. Sudah 3-4 bulan ini saya membuktikannya. Menurut pengalaman saya, sensasi yang ditimbulkan oleh si seksi ini hebat banget. Bayangin aja, sepulang dari lapangan yang melelahkan dan (kadang bikin sebal dan stres), semuanya bisa “baik-baik” saja dengan sepotong coklat. Biarpun udah jam 4 sore, namun makan siang belum jelas juga J.Begitu juga, saat saya grogi menanti saat menghadap si bos (entah kenapa sampai detik ini saya masih tetap grogi saat akan berhadapan dengan si bos :-D), maka cukup dengan mengunyah sepotong coklata, maka semuanya akan baik-baik saja. Ahh..akhirnya saya bisa juga menemukan pengganti sahabat saya terdahulu ..
BERDUKA

Saat ini saya sedang berduka atas “wafatnya” majalah kesayangan saya SNAP dan Komputeraktif.

Dua majalah yang “terlambat” saya akrabi. Dua majalah yang turut membantu saya berproses “memperbaiki otak”.

Saya yang gaptek dan ga pedulian pada hal yang berbau ke IT-IT an, jadi aware IT sejak mengenal dan mengakrabi Komputeraktif. Sebenarnya sih kalau mu jujur, saya sudah mengenal Komputeraktif (Majalah dan websitenya), sudah saya kenal sejak 2004, tapi dasar saya si pemalas, maka saya tak begitu berminat pada hal-hal selain yang ringan, misalnya topik tentang HP terbaru, atau rubrik Langkah-langkah. Alasan saya menggemari topik ini juga tak lain dan tak bukan karena sangat membantu pekerjaan saya saat itu.

Saya mulai mengenal majalah ini secara dekat (baca: membaca seluruh halaman per halaman dan menaruh perhatian pada setiap topik yang disajikan ) plus ga segan-segan membeli bahkan “memburu” setiap edisi terbarunya sejak saya tinggal di kota ini. Kehausan akan bahan bacaan mengingat kota ini “rada jauh dari peradaban” dan rada terisolir (7 jam dari medan, booww…), sehingga toko-toko buku yang ada di sini pun hanya berupa toko buku tradisional (baca: Cuma jualan buku-buku pelajaran dan agama doang) semakin menjadi-jadi. Maka jadilah saya unofficial pelanggan setianya Komputerakif.

Sedangkan SNAP saya kenal secara tak sengaja, saat menemani seorang teman yang fotografer juga sedang berburu majalah di sebuah toko buku di Banda Aceh, setahun yang lalu. Semula saya tak ambil pusing, secara covernya yang (menurut saya ) biasa aja saat itu, juga fotografi bukanlah topik yang menarik lagi bagi saya, mengingat saya tak lagi punya peralatan fotografi apapun. Tak lama saya pulang ke Langsa, dan melakukan ritual wajib tiap wiken : jalan-jalan ke toko buku bersama bidadari kecil saya, dan saya menemukan SNAP yang saya pernah lihat di Banda, maka iseng saya belilah majalah itu. Kalo ga salah edisi ke 3 waktu itu. Karena saya banyak melakukan perjalanan jauh, dan saya lebih suka menghabiskan waktu di mobil dengan membaca ketimbang mengobrol, maka dalam waktu sekejap SNAP “edisi perkenalan” itu habis saya lalap.

Entah kenapa saya menemukan “sesuatu yang hilang” di sana. Sesuatu yang dulu kerap saya dapatkan di FOTOMEDIA, sebuah majalah fotografi juga, yang lambat laun berubah menjadi “asing”. Menemukan SNAP buat saya seperti menemukan kekasih lama yang bertahun-tahun menghilang tak jelas kemana rimbanya (hiperbolis*mode on*)…

Sejak saat itu juga saya kerap melakukan perburuan saya dimanapun saya bertugas (ga peduli di takengon, lhokseumawe, banda aceh dan langsa sekalipun), meski saya tau harapan saya itu akan lebih sering berakhir kecewa, karena buat saya SNAP punya jadwal terbit yang agak unik. Tapi demi cinta saya SNAP, saya rela melakukan apapun *halah*.

Tapi ternyata bulan madu saya dengan SNAP tak berumur panjang, saat saya membuka sebuah email dari ayofoto.com, yang menyatakan bahwa SNAP tak berumur panjang. Goshh..tak terbayang perasaan saya saat itu. Dongkol. Kesal. Sedih. Nyampur. Persis perasaan di saat saya putus dengan mantan saya (hiperbolis *mode on*)

Maka saat SNAP ngeluarin edisi Photo Techniques, saya buru-buru beli meski harganya luamanyan muahal (tapi isinya keren kok..)

Yah…nothing last forever..saya mesti merelakan kepergian dua sahabat saya itu, seraya berharap akan ada pengganti mereka di hari-hari mendatang, meski dengan nama yang berbeda. Selamat jalan "kawan"…