Thursday, May 19, 2011

Tentang latihan




“Life is not a rehearsal”. Kalimat tersebut saya lihat di sebuah film dokumenter yang diputar di Goethe Haus nyaris setahun yang lalu.

Kalimat tersebut adalah sebuah stiker yang ditempel di ruangan seorang direktur sebuah perusahaan produsen peralatan kamar mandi nomer wahid di Jerman. Kali ini saya tak ingin membahas tentang film tersebut.

Yang menarik buat saya adalah kalimat tersebut. Mengapa? Karena buat saya kalimat tersebut adalah antithesis dari apa yang saya percayai selama ini.

Buat saya setiap hari adalah sekolah. Dalam Setiap fase kehidupan kita, dalam setiap kejadian yang kita alami, saya yakini terdapat sebuah pelajaran. Tak ada yang terjadi begitu saja tanpa menggulirkan makna bagi yang mengalaminya. Eveything happens for a reason. Hanya tergantung kita apakah peduli dan berusaha mencari makna/hikmah yang tersembunyi dalam semua itu.

Kehidupan saya yang seperti rollercoaster selama 3 tahun belakangan inipun bukan tak membekas apa apa. Terlalu banyak pelajaran yang saya dapat di sana. Itu yang berhadil saya “tangkap” mungkin ada lebih banyak lagi yang tak ter”tangkap” “kamera” saya.

Bahkan hingga hari ini.

Apa yang terjadi. Pertemuan. Perbincangan. Senyum yang terlempar. Tangis yang pecah. Mata yang berbinar. Semua mengajarkan satu hal: nothing lasts forever. Inna ma’al usri yusra. Sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan.

Yang terpenting adalah percaya bahwa selalu ada Zat yang Maha Kuasa yang mengawasi kita dan takkan membiarkan kita memikul beban di luar kemampuan kita. Meski rasanya lutut sudah mau copot dan tulang bahu serasa mau remuk saking beratnya beban itu. Tapi percayalah Tuhan menghitung semuanya. Dan di atas semua itu percayalah: bahwa semua yang terjadi atas kita adalah proses menjadikan kita menjadi seseorang yang tangguh. Yah, itu yang hingga hari ini masih saya (berusaha untuk) percaya.

Diet Pikiran

Pikiran manusia sangat sulit untuk dikontrol. Entah dimana saya membaca kalimat itu.

Well…berdasarkan pegalaman pribadi saya setuju dengan ide itu. Apalagi untuk konteks penghawatir berat seperti saya (which is ternyata saya mewarisi sifat ini dari bapak dan ibu saya). Bukan apa-apa, instead of bikin kita jadi well prepared, saya malah merasakannya kebalikannya. Saya cenderung menjadi pesimis. Takut resiko dan cenderung menghindar. Itu belum seberapa. Yang paling menyiksa adalah saat saya mengkhawatirkan sesuatu, maka saya takkan berhenti memikirkan hal tersebut. Meski dalam tidur.

Jadi, alih-alih bisa tidur nyenyak meski capek stengki mokat, tapi saya gak bakal bisa mengistirahatkan pikiran saya yang berefek saya tak bisa tidur.

Percaya atau tidak, saya pernah hanya tidur beberapa hari dalam sebulan. Alhamdulillah saya tak apa-apa. It was a miracle. Karena biasanya saat saya mengkhawatirkan sesuatu dengan amat sangat, maka tubuh saya pun akan terkena akibatnya. Biasanya sinusitis saya kambuh. Yang ditandai dengan demam kambuhan yang datang dan pergi. Yang lebih parah adalah sang thypus yang dengan setia mengiringi.

Oleh karenanya sejak dua tahun yang lalu saya berusaha keras “mengontrol pikiran” saya. Tak mudah memang. Bahkan bisa dibilang susah bangettttttttttttttt. Apalagi buat saya. Tapi bukan ga berarti tak mungkin kan? Berbekal bahan bacaan, diskusi dan smacam macam saya pun mencoba menjalankan proses itu.

Dan ternyata sodara-sodara, semua itu lebih sulit dari yang saya bayangkan. Mungkin didukung oleh sifat moody saya yang amat dominan. Namun saya tak menyerah. Perlahan, saya merasa sifat pengkhawatir saya lumayan berkurang (meski tak banyak :p) tapi at least membawa perubahan yang cukup berarti. Saya menajdi lebih pasrah, ikhlas dan lebih legowo terhadap apapun yang terjadi. Meski masih fluktuatif sifatnya, namun saya merasakan perubahan pada cara saya memandang sesuatu yang (akan) muncul. Kalo kemaren kemaren dari samping, sekarang dari atas. Kidding. Dalam otak saya saat ini terasa ada sebuah tombol yang berfungsi “mengontrol “ kekhawatiran saya. Mski tak banyak, tapi sangat bermanfaat. Setidaknya mengurangi sifat panikan saya.

Belakangan saya menerapkan cara baru : Diet Pikiran (Ebuset, sok keren banget yak namanya? :p). Ini sudah saya jalani kurang lebih setahun belakangan. Dengan berdiet pikiran saya bisa memilih dan memilih apa yang musti dipikirin dan apa yang tidak. Apa yang harus difikirin trus dicari jalan keluarnya dan apa yang cukup dikasi kalimat “bukan urusanku. Bantai kelen lah situ”. Dan tampaknya ini cukup berhasil. Yahhh setidaknya pikiran pikira gak penting dan tidak berkaitan langsung denganku tak kan lama-lama singgah di otak. Kadang terasa egois. Tapi apa boleh buat, demi kesehatan raga dan mental, saya terpaksa melakukannya. Meski saya merasa kok lama lama saya menjadi ignorant ya? Tapi saya fikir sejauh tidak merugikan kepentingan orang lain, sah sah saja. Yah..setidaknya menurut saya :-D