Wednesday, October 26, 2011

Will You Keep on Dreaming or Live your Dream?




Sebuah pertanyaan yang sederhana. Cukup sederhana untuk diabaikan. Tapi juga cukup mengusik hati saat dibaca ketika pikiran sedang jernih-jernihnya.
Bicara mimpi, bukanlah hal baru buat saya. Sejak sepuluh tahun yang lalu (buset, lama amat yak?) saya selalu mengakhiri tahun atau mengawalinya dengan sederet resolusi. Lantas apa hubungannya mimpi dan resolusi? Resolusi bagi saya adalah menaburkan benih mimpi. Karena biasanya saya punya target at least 50% dari mimpi-mimpi saya itu harus tercapai. Dan (biasanya) saya akan keukeuh berusaha agar isi resolusi saya itu tercapai, meski hanya beberapa poin saja.

Namun, sejak dua tahun lalu saya berhenti membuat resolusi. Tepatnya setelah hidup saya seperti rollercoaster. Tak tertebak. Dan tak satu resolusipun (yang pernah saya tulis untuk tahun itu) tercapai. Di situ saya sampai pada kesimpulan pada : kau tak perlu repot-repot menciptakan rencana-rencanamu, karena jika Tuhan sudah berkehendak, takan ada yang bisa menghalangi. Sebuah kesimpulan yang menyedihkan dan kental dengan nada kemarahan sekaligus sangat pasrah.

Tapi sejak saat itu, saya memang berhenti membuat resolusi. Sejak setahun lalu,sebagai gantinya saya menuliskan potongan-potongan keinginan-keinginan “terpendam” saya di selembar post it, yang kemudian saya tempelkan di cermin di kamar saya. Hanya itu.

Entah kebetulan atau tidak, ada beberapa yang sudah saya capai, atau secara tak sadar saya sedang menuju ke arah sana. Apakah itu yang disebut dengan Live My Dream? Entahlah.
Yang jelas, saya si sinis dan realistis ini (masih) sedang berusaha untuk tetap mau bermimpi, meski kadang hati saya menertawakan dan dengan sinis berkata “yakin lo?”
Setidaknya saya (masih) percaya, bahwa saya maish butuh mimpi untuk membuat hidup saya (sedikit lebih) fokus.



*pic from here*

Pagi yang bahagia itu…

Pagi seperti biasa, saya selalu mengawali dengan mood booster. Salah satunya blogwalking. Menemukan blog ini dengan posting berjudul : Pagi yang membuat bahagia. Saya sedikit tersentak. Karena telah lama saya tak pernah menghiraukan pagi saya. Pagi saya bagai dikejar-kejar. Bangun tergesa. Untung sholat tidak tergesa. Mengaji tergesa-gesa. Lalu bergegas mandi, yang juga saya lakukan dengan kecepatan tinggi. Kali ini alasannya demi menghindari udara dingin yang membuat saya akan mengalami pilek seharian. Dan hal lain yang juga kerap saya lakukan dengan tergesa. Meski sesungguhnya ketergesa-gesaan saya semata adalah karena saya sangat menghindari untuk sampai terlambat di kantor. Dan hal tersebut menjadikan semua pagi saya nyaris beraroma sama : buru-buru. Kembali ke topik awal : Pagi yang membuat bahagia, maka saya butuh waktu untuk metrenungi apa saja yang membuat pagi saya terasa membahagiakan? Kenapa? Karena saya sadari beberapa bulan ini saya begitu sebal pada pagi. Namun setelah saya pikir-pikir lebih lama, hal tersebut tak sepenuhnya benar. Karena ada saat bagi saya ketika pagi begitu menyenangkan. Biasanya karena malamnya saya sempat bangun untuk tahajud. Kenapa tahajjud? Entah mengapa tahajjud saya berperan menjaga mood saya seharian. Saya menjadi lebih percaya diri, tidak mudah terpancing emosi dan lebih tenang. Hmmm.. ternyata membuat pagi saya menjadi membahagiakan itu mudah kok  . Bagaimana pagimu?
*image from here*

Thursday, October 20, 2011

Hatiku kusut Otakku semrawut. Kutanya jiwaku dan jawabannya adalah bahwa yang kurindukan saat ini adalah sebuah perjalanan. perjalanan yang melengkapi perjalanan yang mempertemukan jiwaku dengan hal hal baru dunia baru jendela baru pintu baru dan udara baru membaui aroma baru menginjak tanah yang baru merasai bayu yang baru menikmati musik yang baru dan aku masih menanti saat itu kan datang

Tuesday, October 18, 2011




Tentang (Kemuakan saya untuk) Memotret

Saya mengenal kamera pertama kali 17 tahun yang lalu. Sebuah kamera poket pinjaman seorang teman kos. Saat itu saya kerap meminjamnya karena hobi (baru saat itu) saya ialah menonton konser. Biasanya sih genrenya rock dan underground. Lokal dan nasional. Keduanya saya sambangi.

Tahun kedua kuliah, saya membaca sepotong selebaran yang ditempel di dinding kampus saya tentang kesempatan untuk belajar dan bergabung di sebuah klub fotografi. Entah kenapa saat itu saya merasa iklan yang tertulis dalam selebaran tersebut seperti menjadwab semua kegelisahan dan keinginan terpendam saya. Waktu itu saya belum mendefinisikannya sebagai ketertarikan pada fotografi. Tapi lebih kepada suatu kegiatan yang menurut saya menarik, saat itu. Mengingat sebelumnya saya adalah mahasiswa baru yang kelebihan energi tapi ga punya kegiatan apapun selain kuliah dan nongkrong di kantin fakultas hingga senja menjelang.

Singkat kata, sayapun mendaftar di klub tersebut. Dengan antusias saya juga mengikuti kelas-kelasnya dengan teratur. Alhamdulillah tidak ada kesulitan apapun. Dan entah bagaimana jalan saya begitu mudah untuk kesana. Terbukti dengan saya berhasil membeli kamera DSLR pertama saya bermerek Fujica, milik deny, salah seorang sahabat saya yang saat itu butuh uang atau ingin ganti kamera.

Waktupun berlalu. Singkat kata, kamera Fujica itu sempat saya lego ke eorang teman yang berniat belajar fotografi dan menggantinya dengan pentax K1000 yang saat itu saya beli dengan harga 350 ribu rupiah.

Anehnya, meski sudah belajar bertahun-tahun, namun saya merasa pengetahuan saya hanya jalan ditempat. Sedangkan teman seangkatan saya, bahkan yang belajar lebih telat dari saya. Terbukti dari saya tidak pernah percaya diri bahkan untuk ikut memotret pada proyek wedding sekalipun. Belum lagi kalo disuruh motret model. Boro-boro motret yang berbau jurnalistik. Meski beberapa foto saya sempat dipuji angle dan idenya oleh beberapa orang. Tetap itu tak membuat saya merasa percaya diri untuk memotret.

Hal itu pula yang menghalangi langkah saya untuk segera memiliki kamera digital. Akhirnya awal 2007. Tepatnya April 2007 saya berhasil memiliki sebuah kamera digital pertama saya : canon 400D. Saya akui butuh perjuangan berat dan panjang untuk memilikinya. Mengingat harga dan juga “minat” saya yang kurang mencukupi.

Sesudah kamera terbeli, saya sempat “puasa traveling” karena dana untuk membeli kamera berasal dari tabungan saya hasil menyisihkan gaji saya yang tak seberapa tiap bulan.

Bulan demi bulan hingga tahun pertama saya memiliki kamera itu, saya sangat bersemangat untuk mengabadikan apapun yang saya lihat. Seorang teman pernah bilang bahwa saya memiliki “mata” yang berbeda dalam melihat object. Tahun kedua dan ketiga semuanya juga masih baik-baik saja. Meski fungsi kamera DSLR saya saat itu sempat tergantikan oleh kamera handphone merek sony errickson yang hasilnya sangat ciamik.

Tahun keempat saya sudah mulai sangat malas memotret. Sangat. Namun saya berusaha keras “memaksa” minat saya itu untuk tetap “stay awake”. Caranya macam-macam. Dengan menambah lensa dan juga menggeser minat. Sebelumnya saya lebih suka memotret manusia dan kegiatannya, namun demi mencari variasi dan sesuatu yang baru, maka saya mengalihkannya dengan memotret benda atau apa saja yang diam. Saya menyebutnya sebagai genre poetic picture.

Cara itu lumayan berhasil, buktinya sebuah blog baru tercipta karenanya. Namun taukah kau, bahwa mengisinya sangat butuh perjuangan. Mengingat mood memotret saya yang suka dating dan pergi, Terlebih saat merasa “terpaksa” atau “harus”,maka mood memotret saya akan hilang. Dan berganti dengan rasa muak yang teramat sangat pada kamera. Hal ini yang sedang saya rasakan sekarang. Kenapa sekarang? Karena saat ini memmotret merupakan sebuah keharusan, karena ia merupakan bagian dari profesi saya sebagai PR di sebuah lembaga internasional. Kalo muak, gimana saya bisa menunaikan tugas saya itu? Jadi gini ya, saya bisa memotret by order, tapi saya kehilangan sense untuk menambah nilai nilai artistik pada foto-foto saya. Saya hanya memotret secara “asal lepas rodi”. Sesudahnya saya tak pernah menyentuh kamera saya.

Hal ini bukan pertama kali terjadi. Pernah juga saya alami saat saya sedang menimba ilmu di Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta. Saya sempat muak dan sangat benci pada kamera, padahal tiap minggu selalu ada penugasan dan presentasi. Semua penugasan saya kerjakan sehari sebelum deadline.

Sekembalinya saya ke Aceh. Minat memotret saya perlahan memulih. Beruntung saya bertemu seorang teman lama yang tau bagaimana saya memulai mengenal dunia fotografi ini. Ia yang selalu menyemangati saya untuk tetap memotret. Karena menurutnya saya bisa. Hanya butuh ketekunan dan konsistensi. Entahlah.

Yang jelas, hingga malam ini saya sedang berusaha bertarung dengan rasa muak itu. Karena saya sadar sesadarnya bahwa memotret bagi saya adalah lebih dari sekedar hobi atau pengisi waktu luang. Melainkan passion, bahkan cara saya mengekspresikan perasaan saya. Maka ketika saya kehilangan minat untuk itu, kering kerontanglah hidup saya. Pernah terfikir untuk menyemangati nya dengan membeli kamera baru. Namun lagi-lagi saya tak mau berjudi dengan taruhan yang sangat mahal. Well, saya percaya suatu saat minat saya itu akan kembali. Hanya butuh cara dan waktu saja. Semoga!