Monday, December 12, 2011

kemana?

Ternyata mencari semangat untuk memotret itu lebih sulit dari pada mencari jarum di tumpukan jerami

Saturday, December 10, 2011

Monday, December 05, 2011

Closed but will reopen

Semua tertutup sudah. Kosong. Tapi kan kembali terisi. Suatu hari pasti

Wednesday, November 16, 2011

Tentang Menonton


Bahwa menonton disini di tempat ini adalah berbeda dgn " menonton " di luar sana. Di sini menonton hanya mencari adegan baru. Padahal di luar sana, menonton bermakna : menelaah, meneliti , mengkaji dan mengambil sari dari setiap pesan moral yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, biasanya sesudah menonton selalu terdapat diskusi, sehingga para audiens bisa berbagi kesan di sana. Di sini Hal itu tidak berlaku. Sayang sungguh sayang





picture from here

Wednesday, October 26, 2011

Will You Keep on Dreaming or Live your Dream?




Sebuah pertanyaan yang sederhana. Cukup sederhana untuk diabaikan. Tapi juga cukup mengusik hati saat dibaca ketika pikiran sedang jernih-jernihnya.
Bicara mimpi, bukanlah hal baru buat saya. Sejak sepuluh tahun yang lalu (buset, lama amat yak?) saya selalu mengakhiri tahun atau mengawalinya dengan sederet resolusi. Lantas apa hubungannya mimpi dan resolusi? Resolusi bagi saya adalah menaburkan benih mimpi. Karena biasanya saya punya target at least 50% dari mimpi-mimpi saya itu harus tercapai. Dan (biasanya) saya akan keukeuh berusaha agar isi resolusi saya itu tercapai, meski hanya beberapa poin saja.

Namun, sejak dua tahun lalu saya berhenti membuat resolusi. Tepatnya setelah hidup saya seperti rollercoaster. Tak tertebak. Dan tak satu resolusipun (yang pernah saya tulis untuk tahun itu) tercapai. Di situ saya sampai pada kesimpulan pada : kau tak perlu repot-repot menciptakan rencana-rencanamu, karena jika Tuhan sudah berkehendak, takan ada yang bisa menghalangi. Sebuah kesimpulan yang menyedihkan dan kental dengan nada kemarahan sekaligus sangat pasrah.

Tapi sejak saat itu, saya memang berhenti membuat resolusi. Sejak setahun lalu,sebagai gantinya saya menuliskan potongan-potongan keinginan-keinginan “terpendam” saya di selembar post it, yang kemudian saya tempelkan di cermin di kamar saya. Hanya itu.

Entah kebetulan atau tidak, ada beberapa yang sudah saya capai, atau secara tak sadar saya sedang menuju ke arah sana. Apakah itu yang disebut dengan Live My Dream? Entahlah.
Yang jelas, saya si sinis dan realistis ini (masih) sedang berusaha untuk tetap mau bermimpi, meski kadang hati saya menertawakan dan dengan sinis berkata “yakin lo?”
Setidaknya saya (masih) percaya, bahwa saya maish butuh mimpi untuk membuat hidup saya (sedikit lebih) fokus.



*pic from here*

Pagi yang bahagia itu…

Pagi seperti biasa, saya selalu mengawali dengan mood booster. Salah satunya blogwalking. Menemukan blog ini dengan posting berjudul : Pagi yang membuat bahagia. Saya sedikit tersentak. Karena telah lama saya tak pernah menghiraukan pagi saya. Pagi saya bagai dikejar-kejar. Bangun tergesa. Untung sholat tidak tergesa. Mengaji tergesa-gesa. Lalu bergegas mandi, yang juga saya lakukan dengan kecepatan tinggi. Kali ini alasannya demi menghindari udara dingin yang membuat saya akan mengalami pilek seharian. Dan hal lain yang juga kerap saya lakukan dengan tergesa. Meski sesungguhnya ketergesa-gesaan saya semata adalah karena saya sangat menghindari untuk sampai terlambat di kantor. Dan hal tersebut menjadikan semua pagi saya nyaris beraroma sama : buru-buru. Kembali ke topik awal : Pagi yang membuat bahagia, maka saya butuh waktu untuk metrenungi apa saja yang membuat pagi saya terasa membahagiakan? Kenapa? Karena saya sadari beberapa bulan ini saya begitu sebal pada pagi. Namun setelah saya pikir-pikir lebih lama, hal tersebut tak sepenuhnya benar. Karena ada saat bagi saya ketika pagi begitu menyenangkan. Biasanya karena malamnya saya sempat bangun untuk tahajud. Kenapa tahajjud? Entah mengapa tahajjud saya berperan menjaga mood saya seharian. Saya menjadi lebih percaya diri, tidak mudah terpancing emosi dan lebih tenang. Hmmm.. ternyata membuat pagi saya menjadi membahagiakan itu mudah kok  . Bagaimana pagimu?
*image from here*

Thursday, October 20, 2011

Hatiku kusut Otakku semrawut. Kutanya jiwaku dan jawabannya adalah bahwa yang kurindukan saat ini adalah sebuah perjalanan. perjalanan yang melengkapi perjalanan yang mempertemukan jiwaku dengan hal hal baru dunia baru jendela baru pintu baru dan udara baru membaui aroma baru menginjak tanah yang baru merasai bayu yang baru menikmati musik yang baru dan aku masih menanti saat itu kan datang

Tuesday, October 18, 2011




Tentang (Kemuakan saya untuk) Memotret

Saya mengenal kamera pertama kali 17 tahun yang lalu. Sebuah kamera poket pinjaman seorang teman kos. Saat itu saya kerap meminjamnya karena hobi (baru saat itu) saya ialah menonton konser. Biasanya sih genrenya rock dan underground. Lokal dan nasional. Keduanya saya sambangi.

Tahun kedua kuliah, saya membaca sepotong selebaran yang ditempel di dinding kampus saya tentang kesempatan untuk belajar dan bergabung di sebuah klub fotografi. Entah kenapa saat itu saya merasa iklan yang tertulis dalam selebaran tersebut seperti menjadwab semua kegelisahan dan keinginan terpendam saya. Waktu itu saya belum mendefinisikannya sebagai ketertarikan pada fotografi. Tapi lebih kepada suatu kegiatan yang menurut saya menarik, saat itu. Mengingat sebelumnya saya adalah mahasiswa baru yang kelebihan energi tapi ga punya kegiatan apapun selain kuliah dan nongkrong di kantin fakultas hingga senja menjelang.

Singkat kata, sayapun mendaftar di klub tersebut. Dengan antusias saya juga mengikuti kelas-kelasnya dengan teratur. Alhamdulillah tidak ada kesulitan apapun. Dan entah bagaimana jalan saya begitu mudah untuk kesana. Terbukti dengan saya berhasil membeli kamera DSLR pertama saya bermerek Fujica, milik deny, salah seorang sahabat saya yang saat itu butuh uang atau ingin ganti kamera.

Waktupun berlalu. Singkat kata, kamera Fujica itu sempat saya lego ke eorang teman yang berniat belajar fotografi dan menggantinya dengan pentax K1000 yang saat itu saya beli dengan harga 350 ribu rupiah.

Anehnya, meski sudah belajar bertahun-tahun, namun saya merasa pengetahuan saya hanya jalan ditempat. Sedangkan teman seangkatan saya, bahkan yang belajar lebih telat dari saya. Terbukti dari saya tidak pernah percaya diri bahkan untuk ikut memotret pada proyek wedding sekalipun. Belum lagi kalo disuruh motret model. Boro-boro motret yang berbau jurnalistik. Meski beberapa foto saya sempat dipuji angle dan idenya oleh beberapa orang. Tetap itu tak membuat saya merasa percaya diri untuk memotret.

Hal itu pula yang menghalangi langkah saya untuk segera memiliki kamera digital. Akhirnya awal 2007. Tepatnya April 2007 saya berhasil memiliki sebuah kamera digital pertama saya : canon 400D. Saya akui butuh perjuangan berat dan panjang untuk memilikinya. Mengingat harga dan juga “minat” saya yang kurang mencukupi.

Sesudah kamera terbeli, saya sempat “puasa traveling” karena dana untuk membeli kamera berasal dari tabungan saya hasil menyisihkan gaji saya yang tak seberapa tiap bulan.

Bulan demi bulan hingga tahun pertama saya memiliki kamera itu, saya sangat bersemangat untuk mengabadikan apapun yang saya lihat. Seorang teman pernah bilang bahwa saya memiliki “mata” yang berbeda dalam melihat object. Tahun kedua dan ketiga semuanya juga masih baik-baik saja. Meski fungsi kamera DSLR saya saat itu sempat tergantikan oleh kamera handphone merek sony errickson yang hasilnya sangat ciamik.

Tahun keempat saya sudah mulai sangat malas memotret. Sangat. Namun saya berusaha keras “memaksa” minat saya itu untuk tetap “stay awake”. Caranya macam-macam. Dengan menambah lensa dan juga menggeser minat. Sebelumnya saya lebih suka memotret manusia dan kegiatannya, namun demi mencari variasi dan sesuatu yang baru, maka saya mengalihkannya dengan memotret benda atau apa saja yang diam. Saya menyebutnya sebagai genre poetic picture.

Cara itu lumayan berhasil, buktinya sebuah blog baru tercipta karenanya. Namun taukah kau, bahwa mengisinya sangat butuh perjuangan. Mengingat mood memotret saya yang suka dating dan pergi, Terlebih saat merasa “terpaksa” atau “harus”,maka mood memotret saya akan hilang. Dan berganti dengan rasa muak yang teramat sangat pada kamera. Hal ini yang sedang saya rasakan sekarang. Kenapa sekarang? Karena saat ini memmotret merupakan sebuah keharusan, karena ia merupakan bagian dari profesi saya sebagai PR di sebuah lembaga internasional. Kalo muak, gimana saya bisa menunaikan tugas saya itu? Jadi gini ya, saya bisa memotret by order, tapi saya kehilangan sense untuk menambah nilai nilai artistik pada foto-foto saya. Saya hanya memotret secara “asal lepas rodi”. Sesudahnya saya tak pernah menyentuh kamera saya.

Hal ini bukan pertama kali terjadi. Pernah juga saya alami saat saya sedang menimba ilmu di Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta. Saya sempat muak dan sangat benci pada kamera, padahal tiap minggu selalu ada penugasan dan presentasi. Semua penugasan saya kerjakan sehari sebelum deadline.

Sekembalinya saya ke Aceh. Minat memotret saya perlahan memulih. Beruntung saya bertemu seorang teman lama yang tau bagaimana saya memulai mengenal dunia fotografi ini. Ia yang selalu menyemangati saya untuk tetap memotret. Karena menurutnya saya bisa. Hanya butuh ketekunan dan konsistensi. Entahlah.

Yang jelas, hingga malam ini saya sedang berusaha bertarung dengan rasa muak itu. Karena saya sadar sesadarnya bahwa memotret bagi saya adalah lebih dari sekedar hobi atau pengisi waktu luang. Melainkan passion, bahkan cara saya mengekspresikan perasaan saya. Maka ketika saya kehilangan minat untuk itu, kering kerontanglah hidup saya. Pernah terfikir untuk menyemangati nya dengan membeli kamera baru. Namun lagi-lagi saya tak mau berjudi dengan taruhan yang sangat mahal. Well, saya percaya suatu saat minat saya itu akan kembali. Hanya butuh cara dan waktu saja. Semoga!

Tuesday, August 02, 2011






Tak sengaja saya membuka kembali sebuah link yang sempat dikirim seorang teman di GJFA ke email saya. Sebuah artikel yang sempat menggugah meski belum pada tahap “menampar” untuk kembali menyambangi kamera butut kesayangan saya.

Belakangan setelah saya renungkan, ternyata saya adalah penyuka hal baru dan punya ketertarikan dengan banyak hal. Menulis. Memotret. Membuat Puisi.Banyak lagi.Tapi tak satupun dari hal-hal tersebut yang saya tekuni hingga membuahkan hasil. Sebut saja soal hobi memotret saya. Saya sudah belajar ilmu ini (meski hanya dasar) dan sudah pegang kamera sejak 13 tahun yang lalu. Teman-teman saya saat itu belajar di kelas yang sama atau memulai pada saat yang nyaris sama untuk belajar fotografi, sekarang ini sudah menjadi cameraman, fotografer, punya bisnis foto studio sendiri atau bahkan sudah ada yang menjadi mentor di sekolah fotografi. Lha saya?

Saya sadar sesadarnya bahwa saya adalah sesosok mahluk yang sangat tidak fokus dalam mengerjakan apapun. Apapun. Eventhough makan sekalipun. Mungkin niatnya sih multitasking, tapi ternyata saya gampang terdistraksi bahkan oleh hal kecil sekalipun. Mungkin alasan in juga yang membuat semua langkah saya cenderung jalan di tempat. Jadi bisa dibiliang kemampuan fotografi saya 13 tahun yang lalu dengan sekarang nyaris sama. Meski saya sudah pernah menimba ilmu di Galeri Foto Jurnalistik Antara yang keren itu..hihihi…sayalah contoh produk gagalnya.

Apakah saya ingin berubah? Tentu. Pasti. Tapi apakah mungkin? Membaca saja saya sulit (jadi ingat iklan PSA dulu di TVRI yak :p) . Yang saya rasa menjadi kendala terbesaradalah sifat moody saya. Meski belakangan sudah agak mendingan dan sudah mulai bisa sedikit demi sedikit saya kontrol. Namun itu akan menjadi penghambat segala langkah dan rencana yang saya buat. Tapi tak ada yang tak mungkin bukan? Hanya untuk orang sendablek saya, mungkin butuh extra usaha dan doa yang kuat. Dan yang paling utama adalah FOKUS!

Kembali ke link yang buat saya sangat inspiratif itu, maka saya merasa terinspirasi untuk kembali membuat Photo Project. Yah..memang hanya photo project pribadi. Tapi saya rasa ini akan meninggalkan jejak dan akan mengasah kemampuan fotografi saya lagi. Apalagi saya punya mentor sekaligus sahabat yang bisa dijadikan konsultan. Semoga in bisa menjadi salah satu pencapaian saya tahun ini. Mari berdoa agar saya tak berubah fikiran lagi. Berdoa dimulai!

Thursday, May 19, 2011

Tentang latihan




“Life is not a rehearsal”. Kalimat tersebut saya lihat di sebuah film dokumenter yang diputar di Goethe Haus nyaris setahun yang lalu.

Kalimat tersebut adalah sebuah stiker yang ditempel di ruangan seorang direktur sebuah perusahaan produsen peralatan kamar mandi nomer wahid di Jerman. Kali ini saya tak ingin membahas tentang film tersebut.

Yang menarik buat saya adalah kalimat tersebut. Mengapa? Karena buat saya kalimat tersebut adalah antithesis dari apa yang saya percayai selama ini.

Buat saya setiap hari adalah sekolah. Dalam Setiap fase kehidupan kita, dalam setiap kejadian yang kita alami, saya yakini terdapat sebuah pelajaran. Tak ada yang terjadi begitu saja tanpa menggulirkan makna bagi yang mengalaminya. Eveything happens for a reason. Hanya tergantung kita apakah peduli dan berusaha mencari makna/hikmah yang tersembunyi dalam semua itu.

Kehidupan saya yang seperti rollercoaster selama 3 tahun belakangan inipun bukan tak membekas apa apa. Terlalu banyak pelajaran yang saya dapat di sana. Itu yang berhadil saya “tangkap” mungkin ada lebih banyak lagi yang tak ter”tangkap” “kamera” saya.

Bahkan hingga hari ini.

Apa yang terjadi. Pertemuan. Perbincangan. Senyum yang terlempar. Tangis yang pecah. Mata yang berbinar. Semua mengajarkan satu hal: nothing lasts forever. Inna ma’al usri yusra. Sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan.

Yang terpenting adalah percaya bahwa selalu ada Zat yang Maha Kuasa yang mengawasi kita dan takkan membiarkan kita memikul beban di luar kemampuan kita. Meski rasanya lutut sudah mau copot dan tulang bahu serasa mau remuk saking beratnya beban itu. Tapi percayalah Tuhan menghitung semuanya. Dan di atas semua itu percayalah: bahwa semua yang terjadi atas kita adalah proses menjadikan kita menjadi seseorang yang tangguh. Yah, itu yang hingga hari ini masih saya (berusaha untuk) percaya.

Diet Pikiran

Pikiran manusia sangat sulit untuk dikontrol. Entah dimana saya membaca kalimat itu.

Well…berdasarkan pegalaman pribadi saya setuju dengan ide itu. Apalagi untuk konteks penghawatir berat seperti saya (which is ternyata saya mewarisi sifat ini dari bapak dan ibu saya). Bukan apa-apa, instead of bikin kita jadi well prepared, saya malah merasakannya kebalikannya. Saya cenderung menjadi pesimis. Takut resiko dan cenderung menghindar. Itu belum seberapa. Yang paling menyiksa adalah saat saya mengkhawatirkan sesuatu, maka saya takkan berhenti memikirkan hal tersebut. Meski dalam tidur.

Jadi, alih-alih bisa tidur nyenyak meski capek stengki mokat, tapi saya gak bakal bisa mengistirahatkan pikiran saya yang berefek saya tak bisa tidur.

Percaya atau tidak, saya pernah hanya tidur beberapa hari dalam sebulan. Alhamdulillah saya tak apa-apa. It was a miracle. Karena biasanya saat saya mengkhawatirkan sesuatu dengan amat sangat, maka tubuh saya pun akan terkena akibatnya. Biasanya sinusitis saya kambuh. Yang ditandai dengan demam kambuhan yang datang dan pergi. Yang lebih parah adalah sang thypus yang dengan setia mengiringi.

Oleh karenanya sejak dua tahun yang lalu saya berusaha keras “mengontrol pikiran” saya. Tak mudah memang. Bahkan bisa dibilang susah bangettttttttttttttt. Apalagi buat saya. Tapi bukan ga berarti tak mungkin kan? Berbekal bahan bacaan, diskusi dan smacam macam saya pun mencoba menjalankan proses itu.

Dan ternyata sodara-sodara, semua itu lebih sulit dari yang saya bayangkan. Mungkin didukung oleh sifat moody saya yang amat dominan. Namun saya tak menyerah. Perlahan, saya merasa sifat pengkhawatir saya lumayan berkurang (meski tak banyak :p) tapi at least membawa perubahan yang cukup berarti. Saya menajdi lebih pasrah, ikhlas dan lebih legowo terhadap apapun yang terjadi. Meski masih fluktuatif sifatnya, namun saya merasakan perubahan pada cara saya memandang sesuatu yang (akan) muncul. Kalo kemaren kemaren dari samping, sekarang dari atas. Kidding. Dalam otak saya saat ini terasa ada sebuah tombol yang berfungsi “mengontrol “ kekhawatiran saya. Mski tak banyak, tapi sangat bermanfaat. Setidaknya mengurangi sifat panikan saya.

Belakangan saya menerapkan cara baru : Diet Pikiran (Ebuset, sok keren banget yak namanya? :p). Ini sudah saya jalani kurang lebih setahun belakangan. Dengan berdiet pikiran saya bisa memilih dan memilih apa yang musti dipikirin dan apa yang tidak. Apa yang harus difikirin trus dicari jalan keluarnya dan apa yang cukup dikasi kalimat “bukan urusanku. Bantai kelen lah situ”. Dan tampaknya ini cukup berhasil. Yahhh setidaknya pikiran pikira gak penting dan tidak berkaitan langsung denganku tak kan lama-lama singgah di otak. Kadang terasa egois. Tapi apa boleh buat, demi kesehatan raga dan mental, saya terpaksa melakukannya. Meski saya merasa kok lama lama saya menjadi ignorant ya? Tapi saya fikir sejauh tidak merugikan kepentingan orang lain, sah sah saja. Yah..setidaknya menurut saya :-D

Sunday, April 24, 2011




Tuhan,

Hidup saya sudah berkeping-keping. Tak tau harus kemana kuarahkan langkah.

Tuhan, bantulah saya. Berilah pertanda. Juga kekuatan untuk bertahan. Karena tak ada lagi energi yang tersisa.

Thursday, April 21, 2011

Tentang Pulang




Pulang buat sebagian orang adalah hal yang ditunggu, apalagi jika ia adalah seorang perantau.

Namun entah mengapa sejak belasan tahun yang lalu, kata PULANG tak selalu suatu hal yang ‘selalu’ menyenangkan buat saya “si anak hilang” ini.
Saya pun tak pernah tau pasti penyebabnya. Besar dugaan saya hal ini disebabkan tak lebih oleh emotional attachment yang saya miliki ke rumah amatlah kecil. Namun ini bukan tak beralasan. Karena sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya sudah “pergi” dari rumah alias tinggal di asrama. Saya hanya pulang 2 minggu atau sebulan sekali. Itupun hanya beberapa hari saja. Saat libur panjang (biasanya 2 mingguan), maka 5 hari pertama adalah heaven. The rest is hell.

Maka saat saya duduk di bangku SMA, dan pulang ke rumah alias tidak tinggal di asrama lagi, saya pun tak kunjung akrab dengan penghuni rumah. Mungkin penyebabnya adalah aturan yang diterapkan orang tua saya; saya dicekoki kegiatan ini itu yang membuat saya sejak Senin-Sabtu dari pagi hingga sore tak pernah bisa berlama-lama di rumah. Dari madrasah sore, hingga les ini itu. Saat malam tiba, sehabis magrib, maka saya pun tak pernah diperbolehkan menonton tivi kecuali saat acara Dunia Dalam Berita yang disiarkan oleh stasiun TVRI saja.Walhasil saya tak pernah merasakan “getar-getar cinta” *saelaaaaaaaa * yang seharusnya menyebar di seluruh penjuru rumah.
Belum lagi, saat saya “dikirim” ke Medan, hanya sehari berselang saat EBTANAS berakhir, dengan alasan agar saya bisa segera mengikuti program bimbingan tes secepatnya demi mendapatkan bangku kuliah di PTN.Piuuhh.

Lalu saat saya duduk di bangku kuliahpun, kondisi yang sama saat saya masih tinggal di ssrama pun terulang kembali. Saya memang tak wajib pulang sebulan sekali, karena ayah saya lah atau anggota keluarga lain yang biasanya mengunjungi saya demi seamplop jatah bulanan, karena saat itu transfer via bank kayaknya belum ngetren (kebayang kan tahun berapa saya berasal? :p ), dan karena keribetannya ayah saya juga tak memilih wesel sebagai media pengiriman jatah bulanan saya. Oleh karenanya sayapun pulang hanya saat ada tanggal merah, atau libur semesteran. Dan suasananya nyaris sama: the first week is heaven, the rest is hell.

Why heaven? Karena di minggu pertama ibu dan bapak saya masih akan bersikap manis (baca: tidak bawel, tak doyan ngomel, baik hati, royal, dan bernada suara rendah). Then why it turns to be a hell? Saat semua orang berubah menjadi temperamen, bawel, hobi ngomel apalagi kalo saya males ngepel, bisa-bisa diketapel *lebay *
Oleh sebab itu sodara -sodara, persisnya entahs ejak kapan, saya lupa, saat pulang saya merasa harus “menyetel “ diri saya ke mode “tertentu” (baca: anak manis, pendiam, no somoking, no rock music, ga suka keluyuran dan semacamnya). Dan hasilnya sangat manjur untuk meminimalisir pertengkaran, kemarahan, kebawelan dan “kemungkinan buruk” lainnya.

Namun sayangnya, tentu saja hal itu membuat saya harus berkepribadian ganda dan di sisi lain, juga membuat orang rumah saya tak pernah tau saya ini manusia seperti apa, karena yang mereka tau hanyalah bahwa saya adalah seorang gadis penurut, pendiam, tak suka berdebat, pokoknya yang baik-baiklah :-D

Sayang sekali.

Mereka melupakan bahwa saya juga manusia biasa yang sangat labil dan terkadang terhanyut oleh “lingkungan”. Bahwa saya juga terkadang butuh “telinga” untuk mendengar segala keluh kesah. Bahwa saya juga memiliki hobi yang selama ini berusaha sekuat tenaga saya tutupi dari mereka, karena sejak aawal saya sudah mencium bahwa orang tua sya tak pernah setuju dengan hobi saya ini (namun anehnya, saat adik2 saya memiliki hobi yang sama, tapi mereka tak pernah ditentang..well..they are boys J ). Singkat kata saya punya kepribadian ganda. Dan pulang adalah saat saya “menggunakan” kepribadian saya yang satunya lagi untuk modal saya bersosialisasi dengan orang rumah. What a life.

Makanya tak mengherankan saat seminggu lalu, sejak bayang-bayang kemungkinan saya untuk “menyerah kalah” dan pulang, maka sepanjang siang dan malam saya seperti dibayang-banyangi mimpi buruk. Karena pulang bagi saya adalah mimpi buruk. Pulang dalam konteks ini adalah kembali dan menjadi penghuni tetap rumah orang tua saya. Meski di sana ada malaikat kecil saya yang sangat saya rindukan tiap hari. Tapi saya tak yakin saya akan betah berlama lama di sana. Aneh? Memang. Tapi itulah yang terjadi selama bertahun tahun. Saat orang-orang bilang : home is where the heart is maka saya akan dengan lantang mengatakan: definitely rite. So where is your home?

Tuesday, April 19, 2011

Moody

Itulah julukan saya kepada diri saya sendiri. Entah kenapa penyakit ini semakin parah seiring pertambahan usia saya..*saelaaaaa :-D *

Segala sesuatu bisa dengan gampangnya berubah menjadi sesuatu yang menyebalkan atau lagi hepi-hepinya, hanya karena sebuah sms yang bernada "gak enak" , maka mood saya akan berbalik menjadi jelek yang akan menghasilkan tampang judes, jutek dan jelek.

Yang kerap menjadi pertanyaan di kepala saya adalah, mengapa si moody ini semakin menjadi di saat usia sudah semakin dewasa (alias tuwiirrr). Harusnya dia menghilang seiring dengan perkembangan emosional yang semakin mateng *lu kira mangga?*

Untungnya pelajaran hidup dan pergaulan *tsaaahhh * selama 6 bulan ini semakin membuat saya cukup bisa mendrive fikiran dan emosi saya, meski dengan susah payah dan babak belur. Jika tidak, bisa dibayangkan hari-hari saya akan menjadi "neraka" hanya karena senyum tak berbalas, sms tak berbalas, hp tak diangkat, janjian telat dan hal sejenis lainnya.

Well…at least dia gak lama-lama singgah di hati.. semoga semakin kesini die semakin males singgah, soalnya udah gak mempan..hhihihi


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, April 16, 2011



god,I think it's the time!

no where to run

no need to escape...

Monday, April 11, 2011


Tak terbayang menjalani hidup seperti ini. Life without Passion. Mungkin menjadi zombie itu rasanya seperti ini. Menjalani hidup seada-adanya. Tanpa keinginan apapun.Tanpa target. Dan itu baru benar-benar kusadari hari ini.

Menyadari bahwa apa yang kujalani dan dapati selama ini adalah hanya keberuntungan dan anugerah yang tak pernah benar-benar kusadari.