Tuesday, September 25, 2012

Sekeping Cerita tentang Museum dan Perpustakaan Ali Hasyimi



sepi pengunjung
"Pada saat usia saya sudah senja, buku-buku, dokumen-dokumen dan benda-benda budaya yang telah bersusah payah saya kumpulkan puluhan tahun, membuat saya gelisah, mengganggu ketenangan tubuh saya, merepotkan keheningan malam sunyi saya dan membuat saya kadang-kadang tidak bisa tidur. Ingatan bagaimana nasib benda-benda itu setelah saya meninggal, akan dijualkah bagai barang loak atau akan dikilokan untuk menjadi pembungkus barang-barang dagangan..? "

Demikian pidato yang diucapkan Ali Hasjmy ketika Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy diresmikan pada 15 Januari 1991 silam. Peresmian yayasan itu juga sekaligus menandai berdirinya bangunan Perpustakaan dan Museum di atas lahan seluas 3.000 meter persegi di Jalan Jenderal Sudirman, Banda Aceh.

Mantan gubernur Aceh ( 1957 - 1964) yang juga dikenal sebagai seorang politikus, ulama, sastrawan, jurnalis dan pengarang dan penyair angkatan Pujangga Baru ini menyimpan sekitar 1.500 koleksi buku di perpustkaan tersebut.  Mulai dari naskah kuno (manuscript) yang berusia ratusan tahun sampai buku-buku yang terbit di era millenium. Ribuan buku yang berjajar di rak-rak itu ditulis dengan tulisan arab gundul, arab jawi, dan latin. Beragam bahasa juga dapat ditemukan di sejumlah buku-buku itu, dari buku-buku berbahasa Aceh, Melayu, Indonesia, Arab, Inggris, Belanda dan bahasa lainnya. Inilah perpustakaan dan museum pribadi pertama di Aceh yang kemudian diwakafkan kepada masyarakat Aceh.

Beberapa lembaga seperti University Tokyo pernah mengirimkan mahasiswanya untuk membuat katalog pustaka. Selain itu ada juga  tim yang terdiri dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PKPM Banda Aceh, dan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS).  Katalog naskah YPAH ini telah diterbitkan pada Januari 2007 lalu oleh Tokyo University of Foreign Studies. Ada juga salah satu lembaga di Jerman yang membantu digitalisasi manuskrip lama di museum tersebut. Dari Pemerintah Daerah Aceh sendiri, tahun lalu mengucurkan Rp 100 juta untuk perawatan manuskrip lama. Selebihnya, urusan museum menjadi kewajiban dari ahli waris Ali Hasjmy yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk merawat peninggalan sang ayah.

Sayangnya, meski katalog naskah telah diterbitkan tetapi karena keterbatasan ruang buku-buku dipajang secara tak beraturan. Hal lain lagi, tidak adanya keterangan tertulis yang menyertai benda-benda kuno bersejarah yang dipamerkan. Sang kurator pun tak tahu banyak tentang isi museum.


buku dan naskah yang tergeletak begitu saja


sebagian isi perpustakaan yang sudah rusak



Salah satu manuskrip koleksi museum


Naskah, buku dan benda bersejarah yang dimiliki museum ini nyaris semuanya berasal dari hasil upaya dan kerja keras Ali Hasjmy. Setelah beliau wafat, tidak pernah ada lagi masyarakat yang menghibahkan naskah-naskah miliknya kepada museum tersebut.(Teks : Nur Raihan & Moeld)


(Sebuah tulisan dan photostory yang dibuat untuk tugas akhir GFJA, yang ternyata gak jadi kepake :) )

No comments:

Post a Comment