Monday, September 24, 2012

Secuil Kisah Syiah di Aceh


Bukit Paya Meuligo: adalah sebuah bukit yang merupakan lokasi istana terakhir Kesultanan Pereulak. Dibukit ini ada sebuah kolam yang konon merupakan tempat pemandian putri Nurul A'la (putri dari sultan terakhir)


Komplek Pemakaman : Makam Sultan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah, berada di komplek ini. Makam terletak di dalam sebuah dayah kecil asuhan Tengku H. Abdullah Muhammad


Makam Sultan yang tidak terawat: Ini merupakan makam Salah Satu Sultan Pereulak yang tidak terawat. Terletak di Desa Paya Kalui, 2 km dari Desa Gandrong Kecamatan Pereulak Kota, Aceh Timur.

Memiliki Mata Uang Sendiri: Salah satu uang yang berlaku pada masa keemasan Kerajaan Kesultanan Pereulak. Benda ini saya abadikan saat saya berkunjung ke Museum Tuuku Chik H M Tayeb 
Museum : Museum Pribadi milik keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Thayeb yang terbengkalai dan jarang dibuka

Diakui atau tidak, sejarah mencatat bahwa Islam beraliran Syiah pernah berjaya di Aceh. Salah satunya di masa Dinasti Kerajaan Pereulak

Hal ini seperti diungkapkan oleh Basri, Ketua Yayasan Monisa (Monumen Islam Asia Tenggara). Menurutnya, Aliran Syiah pernah berjaya di masa lalu selama 100 tahun,  hingga kemudian muncul  aliran Suni. “Sempat terjadi pertentangan diantara kedua alira tersebut,” ungkap lelaki kelahiran 50 tahun yang lalu itu.

Namun hingga saat ini ajaran Syiah hanya tinggal segelintir orang saja yang masih mengikuti dan mengembangkannya. Itupun secara sembunyi-sembunyi. “Ada seorang tokoh Syiah yang hingga kini masih ada di sini bernama Sayed Hasem. Beliaulah yang masih berusaha mengembangkan  Syiah di sini. Meski berasal dari wilayah ini, namun beliau tak menetap disini. Melainkan kerap bolak balik ke Malaysia,” tambah Basri.

Hal senada juga diungkapkan oleh Tengku H. Abdullah Muhammad, sang juru kunci makam Sultan Alaidin Said Maulana, Raja I Pereulak. Menurutnya, Islam aliran Syiah pernah hadir dan berjaya di wilayah Pereulak. Namun saat ini penganut aliran tersebut sudah sangat sulit ditemukan.  “Dulu memang sempat ada pertentangan antara penganut Syiah dan Suni. Namun sekarang sudah tidak ada lagi, karena kami disini sudah Suni semua.” Ungkapnya. Namun senada dengan Basri, ia pun mengakui bahwa masih ada sekelompok kecil masyarakat di wilayah Pereulak yang masih menganut dan berusaha mengembangkan aliran Syiah tersebut. “ Ada segelintir keturunan Sayed yang kembali dari Malaysia yang masih memegang dan menjalankan aliran tersebut. Hanya mereka. Selain itu tidak ada,” tambahnya.
Saat disinggung apakah masih ada sisa-sisa ajaran Syiah yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat, sebut saja peringatan Assyura, Basri dan Tengku Muhammad dengan serta merta mengakui bahwa masyarakat memang masih merayakan peringatan Assyura, namun dengan buru-buru pula mereka menampik bahwa peringatan Assura itu adalah warisan ajaran Syiah. “Sebenarnya peringatan hari Asyura atau hari Al Husen itu bukan hanya milik orang Syiah, tapi juga milik umat muslim secara keseluruhan. Dalam kitab manapun hari Assyura itu tercantum. Jadi bukan murni ajaran Syiah,” papar Tengku Abdullah.
Dalam sebuah artikel berjudul Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh, yang ditulis oleh bekas Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan Nasional, almarhum Hasballah M. Saad menyebutkan dalam beberapa kesenian Aceh seperti tari Seudati dan Saman terdapat simbol kebudayaan muslim beraliran Syiah di Aceh. Simbol itu seperti memukul-mukul dada sendiri, yang dilakonkan oleh para penari Saman.
Masyarakat Aceh juga mengenal tradisi peringatan hari Asyura, yakni Peringatan hari pembantaian Hasan-Husain. Meski tak diperingati secara besar-besaran layaknya maulid Nabi dengan khanduri raya di Aceh namun pada peringatan Asyura sebagian warga Aceh berpuasa satu sampai tiga hari dan dikenal juga tradisi membagi-bagikan bubur beras, yang disebut dengan bubur Asyura, kepada sesama jiran. Biasanya hanya mereka yang berkecukupan yang membagikan bubur Asyura tersebut.
Hikayat Sejarah Kerajaan Pereulak
Meski Kerajaan Pereulak tercatat sebagai tempat dimana Isalam pertama kali menjejakkan kakinya di Asia Tenggara, namun situs peninggalan kerajaan tersebut seakan terbengkalai dan nyaris terlupakan. Tak ada puing-puing bekas bangunan atau benda bersejarah yang tersisa. Yang saat ini tertinggal hanyalah beberapa makam para Sultan dan keluarganya yang tersisa di beberapa tempat.
Salah satunya di Desa Gandrong, Kecamatan Pereulak Kota. Aceh Timur. Dengan menempuh 50 menit perjalanan dari Kota Langsa, lalu dilanjutkan dengan ojek selama 20 menit, maka sampailah saya di lokasi makam Sultan Pertama Dinasti Kerajaan Pereulak tersebut. Lokasi makam berada di sebuah dayah (pesantren) kecil yang sunyi. Setelah saya bertanya pada penduduk sekitar, ternyata dayah tersebeut hanya beraktivitas sore hingga malam. Sang juru kunci makam, Tgk. Abdullah Muhammad tak menetap disana, namun di rumah nya yang hanya berjarak 30 meter dari lokasi tersebut.
Menurut sang juru kunci makam, Tengku Abdullah Muhammad, sebelum masuknya Islam, wilayah Pereulak sudah memiliki hubungan langsung dengan para pedagang dari manca Negara seperti Arab, Cina, India dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perdagangan kayu Pereulak (yang kemudian menjadi asal susul nama daerah ini) saat itu. Kayu Pereulak saat itu dikenal sebagai bahan baku yang sangat dicari untuk pembuatan kapal, dan perabot rumah tangga lainnya.
Lalu pada tahun 173 H. (800 M) datanglah sebuah kapal yang membawa 100 orang romongan pendakwah (disebut ARMADA DAKWAH) yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy, Palestina, Persia dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.

Salah seorang dari pendakwah itu yang bernama Said Ali Al Muktabar  (yang merupakan cucu Khalifah Ali Bin Abi Thalib) menikah dengan salah seorang putrid dari kerajaan Pereulak yakni : Putri Makhdum Tansuri. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Said Maulana Abdul Aziz Shah yang kemudian nantinya menjadi Dinasti Pertama Kerajaan Islam Pereulak. 
Setelah kurang lebih selama 50 tahun  para anggota Armada Dakwah ini menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat secara kuat dan mendasar, maka tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa Armada Dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak saat ini.)
Dalam kesultanan kerajaan Pereulak terdapat 18 Sultan yang sempat memerintah:
1.              Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840864)
2.              Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864888)
3.              Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888913)
4.              Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915918)
5.              Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928932)
6.              Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932956)
7.              Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956983)
8.              Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat [5] (9861023)
9.              Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (10231059
10.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (10591078)
11.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (10781109)
12.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (11091135)
13.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (11351160)
14.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (11601173)[
15.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (11731200 )
16.           Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (12001230)
17.           Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (12301267)[

Menurut Tengku Abdullah, meski masih banyak banyak pihak yang hanya mengakui bahwa Samudra Pasai lah kerajaan Isalam pertama di Aceh, namun harus diakui  sejarah mencatat bahwa istri dari Raja Samudra Pasai yang Pertama (Malik Al Saleh) merupakan putri Sultan ke-9 Raja Pereulak yakni putri dari Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat yang bernama Putri Ganggang.
Menurut lelaki yang telah menjadi juru kunci makam sejak 12 tahun yang lalu ini, setelah Sultan terakhir Pereulak  yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat wafat, kerajaan  Pereulak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera Pasai yakni Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra dari Al Malik Al-Saleh.

SISA-SISA KERAJAAN PEREULAK
Tidak ada yang tersisa selain makam-makam para raja yang tersebar di beberapa tempat saja. Istana terakhir milik sang putrid Nurul A’la terdapat di sebuah bukit di Desa Paya Meuligo, Kecamatan Pereulak, Aceh Timur. Letaknya sekitar 8 km dari ibukota kecamatan Pereulak. Bukit tersebut berada di belakangs ebuah warungNamun sayang, yang tersisa hanya sebuah rawa kecil, bekas kolam pemandian putrid Nurul A’la.  Menurut Basri, dulu, di kolam tempat permandian Nurul A’la tersebut, orang-orang kampung yang ingin melaksanakan hajatan, misalnya kawinan atau sunatan, bisa meminjam piring disana. Bagaimana bisa? “Malam-malam ditaruh keranjang di bibir kolam itu. Paginya sudah ada piring-piring dan gelas di dalam keranjang itu,” katanya. Hal itu didahului dengan prosesi bakar kemenyan.
Dari mana piring-piring dan gelas tersebut berasal? “Dari kolam itu,” kata Basri. Setelah kenduri, menurutnya, piring itu dikembalikan ke sana, dimasukkan ke dalam keranjang dan ditaruh di bibir kolam. Tapi belakangan, piring-piring itu tidak muncul lagi. Konon kabarnya ada seorang warga yang iseng menukar salah satu piring tersebut. Ia suka piring itu karena suka akan keindahan piring tersebut. “Namun karena kecurangannya tersebut  sejak saat itu masyarakat tidak lagi diizinkan meminjam piring-piring tersebut” ungkap basri tersebut dengan yang palsu, maka ‘keajaiban’ tersebut tidak bisa ditemui lagi hingga saat ini.

Hal ini juga diamini oleh Nurhayati (50), salah seorang warga desa Bandrong. Menurutnya, ia dan warga desanya percaya dengan kemunculan perabotan kerajaan dari dalam kolam tersebut. Menurutnya, ibunya juga sempat menyimpan mata uang kerajaan tersebut. Namun saat ini ia tak tahu menahu keberadaan benda bersejarah tersebut.

Tengku Abdullah, sang juru kunci membenarkan bahwa saat ini sisa-sisa kerajaan Pereulak nyaris tak bisa ditemukan lagi. Namun ia membenarkan ada beberapa barang peninggalan kerajaan seperti mata uang, silsilah dan senjata jaman Kesultanan Pereulak, masih disimpan oleh beberapa orang. Salah satunya, Hakim, salah seorang  mantan mukim (mukim adalah sekumpulan desa, namun  hirarkinya di bawah kecamatan, red) setempat. Beliau masih menyimpan beberapa mata uang masa Kesultanan Pereulak di masa lalu. Namun sayang, orang yang dimaksud tidak berada di tempat saat saya berusaha mengunjungi rumahnya.

Selain Hakim, adalah keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Tayeb yang juga merupakan salah satu dari segelintir orang yang masih menyimpan barang peninggalan kerajaan tersebut. Bagaimana ia bisa mendapatkannya? Beliau merupakan salah Ulee Balang ke 8  dari Kerajaan Pereulak, yang berkuasa pada tahun 1914-1934)

Setelah wafatnya Sultan terakhir dari Kerajaan Islam Pereulak, maka kerajaan dibagi dalam wilayah-wilayah yang dipimpin oleh seorang Ulee Balang.

Sisa-sisa benda bersejarah tersebut dirawat dan ditempatkan dalams ebuah Museum Pribadi yang bernama Museum HT Chik Muhammad Tayeb yang terletak di jantung Kota Pereulak. Sayang museum tersebut kurang terawatt dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga jarang bisa dinikmati dan dikunjungi oleh masyarakat umum. Menurut salahs eorang warga sekitar, museum tersbut hanya dibuka jika ada perayaan tertentu saja. Beruntung saya bisa masuk ke dalamnya. Sayang tidak seorangpun yang bisa menjelaskan kepada saya tentang asal muasal barang yang terdapat dalam museum tersebut. Selain benda bersejarah, beberapa makam para Sultan dan keluarga yang bisa ditemui saat ini. 

3 comments:

  1. Jadi, beneran Tari Saman itu asalnya dari tindakan memukul2 dada seperti ketika orang Syi'ah 'meratapi' kematian Hasan dan Husain? Kalo dari lirik lagunya, sih, memang berbau Syi'ah karena menyebut-nyebut ahlul bait.

    ReplyDelete
  2. menurut salah satu sejarawan sih begitu, meski ada beberapa pihak yg saya interview menolak berkomentar. By the way, terima kasih sudah singgah ya :)

    ReplyDelete
  3. Kadang saya suka ragu juga dengan sejarawan.. maksudnya seberapa besar kita yakin dia adalah sejarawan or hanya pihak2 or sekelompok orang yang menjadi sejarawan hanya karena alasan etnis n feodalisme...

    ReplyDelete