Friday, October 12, 2012
Aku dan Rumah Sakit
Aku punya pengakuan.
Aku benci tempat bernama rumah sakit. Ya, meski aku sering sakit-sakitan sejak kecil. Dari disentri, panas, sakit gigi, digigit anjing hingga digigit monyet.
Aku juga sangat sering menolak jika ada teman yang mengajak untuk membesuk sodara atau kerabat ataupun sahabat yang sedang dirawat di rumah sakit.
Sebenarnya aku bukan tak punya alasan untuk itu
Karena taukah kalian, bahwa sepulang dari rumah sakit baik setelah membesuk orang sakit atau cuma memeriksa darah ke laboraturium, kondisiku akan drop setelah itu. Biasanya demam, meriang, pusing. Paling ringan cuma mual-mual.
Yang paling dilematis adalah saat harus menjaga kerabat atau bahkan ibuku sendiri yang sempat bolak balik usti rawat inap di rumah sakit. Biasanya aku gak akan minum air setetespun dari kamar atau bahkan kantin rumah sakit. Kalo mau makan atau minum, aku rela jalan meski sampe 1 km hanya untuk bisa gak makan dilingkungan rumah sakit.
Nah sebluan yang lalu setelah ngobrol-ngobrol dengan seorang sahabat, terlintas ide untuk membuta semacam essay photo project, yang tujuan akhirnya adalah bikin pameran trus hasil foto-fotonya dilelang dan uang yang didapat akan disumbangkan kepada anak pengidap thallasemia disini.
Aku sih seneng banget sama ide itu. Nah masalahnya, persoalan pribadiku dengan rumah sakit ini lho..Nyaris aku membatalkan jika saja dorongan dari hati tidak lebih kuat. Meningat kurang dari dua minggu aku akan angkat kaki dari kota ini da sebelumnya aku ingin berkontribusi sedikit lah.
Oleh karenanya kuterima ini sebagai tantangan.
Maka dua hari yang lalu aku pun menguatkan tekad untuk pertama kalinya mengunjungi Rumah Sakit Zainal Abidin, guna melihat kondisi anak-anak tersebut. Perlu waktu satu jam lebih untuk menyiapkan hati dan badan. Lucky me, semua gak seburuk yang dibayangkan. Aku sanggup memotret mereka meski hanya sekitar 30 menit saja aku berada di ruangan itu. Tapi rasa mual dan rasa takut tak terlalu terasa. Hingga tiba-tiba aku pilek. Badanku agak mriang. Semua bertambah ketika aku masuk ke ruangan satunya lagi dimana disitu aku menyaksikan dua orang dewasa (juga pengidap thalllasemia) yang di"angkut" menggunakan kursi roda karena pingsan (HBnya sangat rendah), trus di sebelahnya ada kantung darah..tiba-tiba akupun diserang rasa mual dan lemas yang amat sangat. Lalu aku memutuskan keluar ruangan dan menuju ke tempat yang lebih terbuka. Setelah itu aku langsung pamit pulang..hahaha...cemen banget yaa...whatever. Tapi aku gak kapok kookk..malah lagi merencanakan kunjungan harian kesana. Mudah-mudahan ini bisa jadi terapi buatku supaya gak cemen lagi..hihihi
Wednesday, October 10, 2012
My One and Only Single Eyeshadow PAC
Bicara eyeshadow, saya baru menyadari kalo shade eyeshadow
yang saya miliki kebanyakan coklat. Termasuk produk yang akan saya review ini. Keputusan
saya membeli produk ini juga sebenarnya cuma iseng sih. Pengen nyobain produk
unggulannya Martha Tilaar ceritanya.
Saat mbaknya nanyain mau pilih warna apa, reflek saya nunjuk
warna coklat ini, sekalian bisa buat shading pikir saya waktu itu. Dan saya hanya membeli
refilnya. Yak, karena case nya jauh lebih mahal dari refilnya.
Malessss…hihihi..
Setelah saya cobain, warnanya memang pigmented sekali.
Teksturnya lembut. Tapi saya sih lebih sering menggunakannya untuk shading saja :)
+pigmented
+teksturnya lembut
+bagus buat shading
-mahal :IDR 36,000 (gak sama tempatnya boo..:D)
-Dijual terpisah dengan tempatnya
Repurchase? Maybe
Tuesday, September 25, 2012
Sekeping Cerita tentang Museum dan Perpustakaan Ali Hasyimi
![]() |
sepi pengunjung |
Demikian pidato yang diucapkan Ali Hasjmy
ketika Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy diresmikan pada 15 Januari 1991 silam.
Peresmian yayasan itu juga sekaligus menandai berdirinya bangunan Perpustakaan
dan Museum di atas lahan seluas 3.000 meter persegi di Jalan Jenderal Sudirman,
Banda Aceh.
Mantan gubernur Aceh ( 1957 - 1964) yang
juga dikenal sebagai seorang politikus, ulama, sastrawan, jurnalis dan
pengarang dan penyair angkatan Pujangga Baru ini menyimpan sekitar 1.500
koleksi buku di perpustkaan tersebut.
Mulai dari naskah kuno (manuscript) yang berusia ratusan tahun sampai
buku-buku yang terbit di era millenium. Ribuan buku yang berjajar di rak-rak
itu ditulis dengan tulisan arab gundul, arab jawi, dan latin. Beragam bahasa
juga dapat ditemukan di sejumlah buku-buku itu, dari buku-buku berbahasa Aceh,
Melayu, Indonesia, Arab, Inggris, Belanda dan bahasa lainnya. Inilah
perpustakaan dan museum pribadi pertama di Aceh yang kemudian diwakafkan kepada
masyarakat Aceh.
Beberapa lembaga seperti University Tokyo
pernah mengirimkan mahasiswanya untuk membuat katalog pustaka. Selain itu ada
juga tim yang terdiri dari
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PKPM Banda Aceh, dan Centre
for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of
Foreign Studies (TUFS). Katalog
naskah YPAH ini telah diterbitkan pada Januari 2007 lalu oleh Tokyo University
of Foreign Studies. Ada juga salah satu lembaga di Jerman yang membantu digitalisasi
manuskrip lama di museum tersebut. Dari Pemerintah Daerah Aceh sendiri, tahun
lalu mengucurkan Rp 100 juta untuk perawatan manuskrip lama. Selebihnya, urusan
museum menjadi kewajiban dari ahli waris Ali Hasjmy yang menyisihkan sebagian
penghasilannya untuk merawat peninggalan sang ayah.
Sayangnya, meski katalog naskah telah
diterbitkan tetapi karena keterbatasan ruang buku-buku dipajang secara tak
beraturan. Hal lain lagi, tidak adanya keterangan tertulis yang menyertai
benda-benda kuno bersejarah yang dipamerkan. Sang kurator pun tak tahu banyak
tentang isi museum.
![]() |
buku dan naskah yang tergeletak begitu saja |
![]() |
sebagian isi perpustakaan yang sudah rusak |
![]() |
Salah satu manuskrip koleksi museum |
Naskah, buku dan benda bersejarah yang
dimiliki museum ini nyaris semuanya berasal dari hasil upaya dan kerja keras
Ali Hasjmy. Setelah beliau wafat, tidak pernah ada lagi masyarakat yang
menghibahkan naskah-naskah miliknya kepada museum tersebut.(Teks : Nur Raihan & Moeld)
Monday, September 24, 2012
Secuil Kisah Syiah di Aceh
![]() |
Komplek Pemakaman : Makam Sultan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah, berada di komplek ini. Makam terletak di dalam sebuah dayah kecil asuhan Tengku H. Abdullah Muhammad |
![]() |
Makam Sultan yang tidak terawat: Ini merupakan makam Salah Satu Sultan Pereulak yang tidak terawat. Terletak di Desa Paya Kalui, 2 km dari Desa Gandrong Kecamatan Pereulak Kota, Aceh Timur. |
![]() |
Memiliki Mata Uang Sendiri: Salah satu uang yang berlaku pada masa keemasan Kerajaan Kesultanan Pereulak. Benda ini saya abadikan saat saya berkunjung ke Museum Tuuku Chik H M Tayeb |
![]() |
Museum : Museum Pribadi milik keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Thayeb yang terbengkalai dan jarang dibuka |
Diakui atau tidak, sejarah mencatat bahwa Islam beraliran
Syiah pernah berjaya di Aceh. Salah satunya di masa Dinasti Kerajaan Pereulak
Hal ini seperti diungkapkan oleh Basri, Ketua Yayasan Monisa
(Monumen Islam Asia Tenggara). Menurutnya, Aliran Syiah pernah berjaya di masa
lalu selama 100 tahun, hingga
kemudian muncul aliran Suni. “Sempat
terjadi pertentangan diantara kedua alira tersebut,” ungkap lelaki kelahiran 50
tahun yang lalu itu.
Namun hingga saat ini ajaran
Syiah hanya tinggal segelintir orang saja yang masih mengikuti dan
mengembangkannya. Itupun secara sembunyi-sembunyi. “Ada seorang tokoh Syiah
yang hingga kini masih ada di sini bernama Sayed Hasem. Beliaulah yang masih
berusaha mengembangkan Syiah di
sini. Meski berasal dari wilayah ini, namun beliau tak menetap disini. Melainkan
kerap bolak balik ke Malaysia,” tambah Basri.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Tengku H. Abdullah Muhammad, sang juru kunci makam Sultan Alaidin Said Maulana,
Raja I Pereulak. Menurutnya, Islam aliran Syiah pernah hadir dan berjaya di
wilayah Pereulak. Namun saat ini penganut aliran tersebut sudah sangat sulit
ditemukan. “Dulu memang sempat ada
pertentangan antara penganut Syiah dan Suni. Namun sekarang sudah tidak ada
lagi, karena kami disini sudah Suni semua.” Ungkapnya. Namun senada dengan
Basri, ia pun mengakui bahwa masih ada sekelompok kecil masyarakat di wilayah
Pereulak yang masih menganut dan berusaha mengembangkan aliran Syiah tersebut.
“ Ada segelintir keturunan Sayed yang kembali dari Malaysia yang masih memegang
dan menjalankan aliran tersebut. Hanya mereka. Selain itu tidak ada,”
tambahnya.
Saat disinggung apakah masih ada
sisa-sisa ajaran Syiah yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat, sebut
saja peringatan Assyura, Basri dan Tengku Muhammad dengan serta merta mengakui
bahwa masyarakat memang masih merayakan peringatan Assyura, namun dengan
buru-buru pula mereka menampik bahwa peringatan Assura itu adalah warisan
ajaran Syiah. “Sebenarnya
peringatan hari Asyura atau hari Al Husen itu bukan hanya milik orang Syiah,
tapi juga milik umat muslim secara keseluruhan. Dalam
kitab manapun hari Assyura itu tercantum. Jadi bukan murni ajaran Syiah,” papar
Tengku Abdullah.
Dalam
sebuah artikel berjudul Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh, yang
ditulis oleh bekas Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan
Nasional, almarhum Hasballah M. Saad menyebutkan
dalam beberapa kesenian Aceh seperti tari Seudati dan Saman terdapat simbol
kebudayaan muslim beraliran Syiah di Aceh. Simbol itu seperti memukul-mukul
dada sendiri, yang dilakonkan oleh para penari Saman.
Masyarakat Aceh juga mengenal
tradisi peringatan hari Asyura, yakni Peringatan hari pembantaian Hasan-Husain.
Meski tak diperingati secara besar-besaran layaknya maulid Nabi dengan khanduri
raya di Aceh namun pada peringatan Asyura sebagian warga Aceh berpuasa satu
sampai tiga hari dan dikenal juga tradisi membagi-bagikan bubur beras, yang
disebut dengan bubur Asyura, kepada sesama jiran. Biasanya hanya mereka
yang berkecukupan yang membagikan bubur Asyura tersebut.
Hikayat Sejarah Kerajaan
Pereulak
Meski Kerajaan Pereulak tercatat
sebagai tempat dimana Isalam pertama kali menjejakkan kakinya di Asia Tenggara,
namun situs peninggalan kerajaan tersebut seakan terbengkalai dan nyaris
terlupakan. Tak ada puing-puing bekas bangunan atau benda bersejarah yang
tersisa. Yang saat ini tertinggal hanyalah beberapa makam para Sultan dan
keluarganya yang tersisa di beberapa tempat.
Salah satunya di Desa Gandrong,
Kecamatan Pereulak Kota. Aceh Timur. Dengan menempuh 50 menit perjalanan dari
Kota Langsa, lalu dilanjutkan dengan ojek selama 20 menit, maka sampailah saya
di lokasi makam Sultan Pertama Dinasti Kerajaan Pereulak tersebut. Lokasi makam
berada di sebuah dayah (pesantren) kecil yang sunyi. Setelah saya bertanya pada
penduduk sekitar, ternyata dayah tersebeut hanya beraktivitas sore hingga
malam. Sang juru kunci makam, Tgk. Abdullah Muhammad tak menetap disana, namun
di rumah nya yang hanya berjarak 30 meter dari lokasi tersebut.
Menurut sang juru kunci makam,
Tengku Abdullah Muhammad, sebelum masuknya Islam, wilayah Pereulak sudah
memiliki hubungan langsung dengan para pedagang dari manca Negara seperti Arab,
Cina, India dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perdagangan kayu
Pereulak (yang kemudian menjadi asal susul nama daerah ini) saat itu. Kayu
Pereulak saat itu dikenal sebagai bahan baku yang sangat dicari untuk pembuatan
kapal, dan perabot rumah tangga lainnya.
Lalu pada tahun
173 H. (800 M) datanglah sebuah kapal yang membawa 100 orang romongan
pendakwah (disebut ARMADA DAKWAH) yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy,
Palestina, Persia dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di
bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing
mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan,
pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.
Salah seorang dari pendakwah itu
yang bernama Said Ali Al Muktabar
(yang merupakan cucu Khalifah Ali Bin Abi Thalib) menikah dengan salah
seorang putrid dari kerajaan Pereulak yakni : Putri Makhdum Tansuri. Dari hasil
pernikahan ini lahirlah Said Maulana Abdul Aziz Shah yang kemudian nantinya
menjadi Dinasti Pertama Kerajaan Islam Pereulak.
Setelah kurang lebih selama 50
tahun para anggota Armada Dakwah
ini menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat secara kuat dan
mendasar, maka tanggal 1 Muharram 225 H (840 M)
Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak
pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Beriringan
dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak
dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah
sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa Armada
Dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak saat ini.)
Dalam
kesultanan kerajaan Pereulak terdapat 18 Sultan yang sempat memerintah:
Menurut Tengku Abdullah, meski masih banyak
banyak pihak yang hanya mengakui bahwa Samudra Pasai lah kerajaan Isalam
pertama di Aceh, namun harus diakui
sejarah mencatat bahwa istri dari Raja Samudra Pasai yang Pertama (Malik
Al Saleh) merupakan putri Sultan ke-9 Raja Pereulak yakni putri dari Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan
Berdaulat yang bernama Putri Ganggang.
Menurut lelaki yang telah menjadi juru kunci makam sejak 12 tahun
yang lalu ini, setelah Sultan terakhir Pereulak yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan
Berdaulat wafat, kerajaan Pereulak
disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera
Pasai yakni Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra dari Al Malik Al-Saleh.
SISA-SISA KERAJAAN
PEREULAK
Tidak ada yang tersisa selain makam-makam para raja
yang tersebar di beberapa tempat saja. Istana terakhir milik sang putrid Nurul
A’la terdapat di sebuah bukit di Desa Paya Meuligo, Kecamatan Pereulak, Aceh
Timur. Letaknya sekitar 8 km dari ibukota kecamatan Pereulak. Bukit tersebut
berada di belakangs ebuah warungNamun sayang, yang tersisa hanya sebuah rawa
kecil, bekas kolam pemandian putrid Nurul A’la. Menurut Basri, dulu, di
kolam tempat permandian Nurul A’la tersebut, orang-orang kampung yang ingin
melaksanakan hajatan, misalnya kawinan atau sunatan, bisa meminjam piring
disana. Bagaimana bisa? “Malam-malam ditaruh keranjang di bibir kolam itu.
Paginya sudah ada piring-piring dan gelas di dalam keranjang itu,” katanya. Hal
itu didahului dengan prosesi bakar kemenyan.
Dari
mana piring-piring dan gelas tersebut berasal? “Dari kolam itu,” kata Basri.
Setelah kenduri, menurutnya, piring itu dikembalikan ke sana, dimasukkan ke
dalam keranjang dan ditaruh di bibir kolam. Tapi belakangan, piring-piring itu
tidak muncul lagi. Konon kabarnya ada seorang warga yang iseng menukar salah
satu piring tersebut. Ia suka piring itu karena suka akan keindahan piring
tersebut. “Namun
karena kecurangannya tersebut
sejak saat itu masyarakat tidak lagi diizinkan meminjam piring-piring
tersebut” ungkap basri tersebut dengan yang palsu, maka ‘keajaiban’ tersebut
tidak bisa ditemui lagi hingga saat ini.
Hal
ini juga diamini oleh Nurhayati (50), salah seorang warga desa Bandrong.
Menurutnya, ia dan warga desanya percaya dengan kemunculan perabotan kerajaan
dari dalam kolam tersebut. Menurutnya, ibunya juga sempat menyimpan mata uang
kerajaan tersebut. Namun saat ini ia tak tahu menahu keberadaan benda
bersejarah tersebut.
Tengku Abdullah, sang juru kunci membenarkan bahwa saat ini
sisa-sisa kerajaan Pereulak nyaris tak bisa ditemukan lagi. Namun ia
membenarkan ada beberapa barang peninggalan kerajaan seperti mata uang,
silsilah dan senjata jaman Kesultanan Pereulak, masih disimpan oleh beberapa
orang. Salah satunya, Hakim, salah seorang mantan mukim (mukim adalah sekumpulan desa, namun hirarkinya di bawah kecamatan, red)
setempat. Beliau masih menyimpan beberapa mata uang masa Kesultanan Pereulak di
masa lalu. Namun sayang, orang yang dimaksud tidak berada di tempat saat saya
berusaha mengunjungi rumahnya.
Selain Hakim, adalah keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Tayeb
yang juga merupakan salah satu dari segelintir orang yang masih menyimpan
barang peninggalan kerajaan tersebut. Bagaimana ia bisa mendapatkannya? Beliau
merupakan salah Ulee Balang ke 8
dari Kerajaan Pereulak, yang berkuasa pada tahun 1914-1934)
Setelah wafatnya Sultan terakhir dari Kerajaan Islam
Pereulak, maka kerajaan dibagi dalam wilayah-wilayah yang dipimpin oleh seorang
Ulee Balang.
Sisa-sisa benda bersejarah tersebut dirawat dan ditempatkan dalams
ebuah Museum Pribadi yang bernama Museum HT Chik Muhammad Tayeb yang terletak
di jantung Kota Pereulak. Sayang museum tersebut kurang terawatt dan tidak
mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga jarang bisa dinikmati dan
dikunjungi oleh masyarakat umum. Menurut salahs eorang warga sekitar, museum
tersbut hanya dibuka jika ada perayaan tertentu saja. Beruntung saya bisa masuk
ke dalamnya. Sayang tidak seorangpun yang bisa menjelaskan kepada saya tentang
asal muasal barang yang terdapat dalam museum tersebut. Selain benda bersejarah, beberapa makam para Sultan dan keluarga yang bisa ditemui saat ini.
Sunday, September 09, 2012
My VIVA!
Saya sudah mengenal produk merek kosmetik ini sejak duduk di
sekolah dasar . Ya, tepat melalui bedak sachetnya yang sungguh legendaris
itu. Kali ini saya akan membahas
beberapa produk viva yang saat ini menjadi andalan saya sehari-hari.
1. Pembersih (Milk Cleanser)
Favourite saya adalah yang variant lemon, alasannya ya karena cocok untuk muka saya
yang tambang minyak ini. Khasiat lemon yang terkandung di dalamnya memang
sangat baik untuk jenis kulit berminyak.
Teksturnya yang water based, sangat sejuk di kulit serta
dengan mudah membersihkan semua make up yang tersisa di wajah, termasuk make up
mata, meski kalo untuk yang ini butuh usaha yang agak “keras” :)
Saya punya pengalaman lucu waktu berada di Yogya. Suatu hari
saya mendatangi sebuah salon yang lumayan besar dan ternama di kawasan Seturan,
untuk treatment wajah saya yang saat itu benar-benar sedang jerawatan. Eh si
Mbaknya sambil facial ngomong gini: mbak, pake pembersih apa? Saya menjawab
“Ristra, emang kenapa mbak?” si mbak pun menjawab :”maaf ya, Mbak, saran saya
pake viva milk cleanser aja. Make up yang lain boleh pake merek apa aja, tapi
untuk pembersih, Viva paling bagus mbak, karena campuran kimianya dikit baget.
Dokter kulit disini sering menyarankan pembersih Viva untuk pasiennya kok,
Mbak,” sambungnya. Sejak saat itu saya mencoba konsisten menggunakan susu
pembersih Viva ini, dan terbukti memang cocok dan tidak menimbulkan iritasi
apapun. Makasih mbak!
Harga IDR 4500
(+) aromanya lembut
(+) bagus untuk
membersihkan make up berat sekalipun
(+) murah
(+) tidak
menimbukkan iritasi, meski buat mata
(-) packagingnya jelek
Overall produk ini ok banget dan sudah repurchased
berkali-kali J
2. Pelembab Oil Control
Menemukan ini saat membaca review-review tentang pelembab
yang cocok untuk kulit yang oily. Langsung saja saya cari di supermarket dan
pasar. Dan setelah usaha mencari
berhari-hari, akhirnya ketemu di sebuah supermarket kecil, di sudut kota ini.
Itu juga gak sengaja, setelah saya nyaris menyerah.
Teksturnya water based, wanginya juga enak, gak kayak
beberapa produknya yang laen J.
Gak terlalu mudah menyerap, musti menunggu beberapa saat hingga lotion ini
menyerap ke kulit. Buat saya ini justru
bagus, karena saya manfaatkan dengan langsung menimpakan Wardah Luminous
Foundation di atasnya, dan mem blend,
lalu jadilah ia seperti tinted mosturiser yang bagus banget.
Sesudahnya biasanya saya memakai bedak tabur Marcks yang
legendaris itu J.
Dan hasilnya luar biasa! Muka saya tak berminyak meski setelah 5 jam lebih. Dan
saat memasuki jam ke enam,wajah saya malah cuma glowy dan kelihatan lebih bagus
J.
Yay! Sejak saat itu saya menasbihkan si oil control ini sebagai salah satu make
up andalan saya. Murah dan bagus!
(+) murah
(+) oil controlnya bagus banget
(+) murah :
IDR 5000
(-) packagingnya jelek
(-) mulut botolnya besar, jadi
musti hati-hati saat menuangkan
(-) sulit ditemukan, karena gak dijual di semua tempat
Repurchase? Yes!
3. Blush on Duo
Produk ini saya cari, setelah “kena racun” para beauty
blogger yang mereviewnya abis-abisan :D. Sama seperti sang oil control, produk
ini susah dicari. Dan saya menemukannya di tempat yag sama dengan sang oil control.
Ada dua pilihan warna, satunya pink dan marun, satunya lagi,
orange dan coklat. Entah kenapa sejak dulu, saya gakcpernah punya blush on pink
dan sejenisnya. Mungkin karena saya cukup tau diri dengan warna kulit saya yang
eksotik (alias item) ini gak bakalan cucok sama shade yang pink itu J.
Jadinya saya pilih shade yang kedua.
Teksturnya emang agak chalky
dan powdery. Warnanya juga gak
terlalu pigmented. Tapi jatohnya di
wajah saya malah lebih bagus. Saya menggunakannya juga sebagai shading untuk pipi saya yang chubby. Dan hasilnya alami. Hanya saja,
staying powdernya gak terlalu bagus, hanya sampai 3 jam. Jadi seteah 3 jam ya kudu touch up J. Tapi buat saya sih fine aja :)
(+) murah : IDR 14,000
(+) warnanya bagus pas jatoh di wajah
(+) packagingnya lucu, da mudah dibawa kemana aja
(-) kuasnya jelek
(-) powdery
Repuchased? Yes!
4. Bedak tabur
sachet
Sang bedak legendaris ini saya temukan di tempat yang sama
saya menemukan pelembab dan blush
on tadi. Dengan isi 15 gr, harganya cukup murah yakni IDR 1000. Mungkin bisa
buat pemakaian 4-5 kali, kalo buat saya J.
Teksturnya lembut, tersedia dalam 5 shade : Kuning langsa,
Mangir , Natural, Olive dan Rachel. Sayangnya di toko itu hanya tersedia shade Natural. Setelah dicoba di kulit, jatohnya
agak kuning.Wanginya cukup lembut. Bisa digunakan sebagai refill. Staying powdernya juga lumayan bagus.


![]() |
bahan yang terjandung di dalamnya |
(+) murah
(+) teksturnya lembut
(+) shadenya banyak
(+) staying powdernya lumayan
(-) packagingnya dari dulu gitu-gitu aja
(-)susah dicari
Repurchase? Maybe
Wednesday, September 05, 2012
REVIEW EYESHADOW INEZ
-->
Kalo bicara eyeshadow, kok rasanya, sebelum-sebelumnya, saya gak pernah terpikir untuk punya eyeshadow. Mungkin karena (dulu) saya selalu berfikir bahwa eyeshadow itu hanya dipake oleh orang-orang yang suka dandan menor.hmmm..padahal kan salah satu fungsinya adalah untuk membuat mata jadi lebih segar dan lebih hidup *buahhhh kaleeeee *
Kali ini saya akan mereview salah satu (apa?? Salah satu? * kamera zoom in zoom out ala sinetron Raam Punjabi* ) eyeshadow yang saya miliki.
Mereknya Inez. Mungkin banyak diantara kita yang belum begitu mengenal merk ini. Inez ini adalah kosmetik brand lokal yang gak kalah bagus dengan merek-merek unggulan lainnya.
Salah satu andalannya adalah produk eyeshadow. Koleksi yang saya miliki adalah Seri Vienna.
Saya pilih seri ini, karena ada warna itemnya, selain saya belum punya koleksi yang punya shade grey. Selain itu seri ini yang agak “kalem” ketimbang seri yang lain.
Warnanya cukup pigmented meski tanpa base. Staying powdernya juga ok, 3-4 jam (tanpa based). Niatnya milih koleksi Vienna ini adalah pengen belajar smokey eyes. Dan belum ada yang berhasil, meski udah bolak balik latihan..hihihi..ya lagian mau dipake kemana itu dandanan smokey eyes, secara sayah adalah orang rumahan banget alias jarang banget pergi-perginya. Paling-paling eyeshadow yang itemnya dipake buat eyeliner aja sih. Itu juga jarang.
Oya, soal pigmented, dari 4 warna yang ada hanya 3 yang pigmented. Karena ada satu warna coklat muda, yang susah banget keluar warnanya, meski udah pake eyeshadow based> Gak tau kenapa. Meski gak pa pa sih, secara koleksi eyeshadow coklat saya yang lain masih ada.
Overall saya suka dengan eyeshadow ini.
(+) pigmentedß
(+) harganya gak terlalu mahal : Rp 37,000 (versi Banda Aceh)
(+) Disertai cermin yang luamayan gede, jadi gampang buat touch up
(+) staying powdernya lumayan lahhh
(+) kemasannya lumayan bagus
(-) ada warna yang tidak pigmented
(-) kuasnya jelek
(-) dijual hanya di toko kosmetik tertentu kalo disini, jadi agak susah nyarinya
Repurchase? Yes! Untuk seri yang lain dong…





-->
Update dan Berubah Haluan? No…Don’t worry..
Sudah lama gak update blog ini. Saking sibuk dan malesnya. Tapi akibat keseringan baca-baca produk reviewnya para beauty blogger, jadi ngerasa : keknya bisa nih ngeblog tentang koleksi kosmetikku (yang tiba-tiba aja jumlahnya membengkak akibat keseringan teracuni oleh blog-blog itu). Sekalian melatih menulis lagi..hihihi
Baiklah dimulai saja. :)
Yang pertama kali harus saya bahas adalah soal jerawat saya. Karena sudah 3 tahun lebih ia sangat setia dengan kulit saya. Suatu hal yang ga pernah terjadi selama lebih dari 30 tahun saya hidup di dunia ini. Bayangin aja, jaman puber dulu aja, seingat saya cuma ada satu jerawat padi nongol di idung dan susah ilangnya. Setelah itu gak ada. Hingga tahun 2009, saat saya harus tinggal di sebuah pulau kecil nan terpencil di Lautan Hindia sana. Semua berawal dari susahnya sumber air, mengingat mostly penduduk sana bergantung pada air hujan. Jarang banget dari air tanah (karena asin dan zat besinya tinggi banget). Berhubung saya tinggal di losmen kecil,maka air yg saya gunakan pun tergantung pada apa yang disediakan pihak losmen.
Tanpa perlu menunggu terlalu lama, maka saya pun merasakan ada yang tidak beres dengan kulit saya. Yang pertama kali diserang adalah kulit kepala : terasa sangat guatal, meski abis keramas.Hingga saat saya pulang ke daratan menjenguk keluarga saya, sayapun menyempatkan diri untuk krimbat. Dan tak disangka tak diduga, mbak-mbak kapster itu melontarkan pertanyaan :mbak, rambutnya kok banyak karatnya ya? Deg! Antara malu dan terkejut tentu saja saya berusaha tetap tenang, seraya menjelaskan kondisi tempat dimana saya tinggal saat ini. Dan si mbak pun setuju dengan dugaan saya: bahwa (kemungkinan) ini disebabkan oleh airnya.
Singkat kata, saya dianjurkan berganti merek sampo untuk membantu mengurangi problem yang saya alami. Tak lama sesudah itu, pederitaan saya bertambah : saya menemukan jerawat mulai satu satu menghiasi wajah saya. Ini cukup mengherankan, mengingat saya ga pernah jerawatan dan saya lumayan rajin membersihkan wajah sebelum tidur. Semakin lama semakin banyak. Parahnya beberapa jerawat tumbuh laksana bisul. Ukurannya segede bisul, dan lama banget kempesnya. Mengingat durasi tugas saya di pulau itu masih lama, sayapun mengambil langkah mengganti produk skin care saya dengan yang agak “seriusan” yakni : Ristra. Dengan harapan bisa membasmi jerawat -jerawat iu.
Namun tampaknya para jerawat tak takut pada segala produk Ristra itu. Buktinya, cuma mengurangi jumlahnya. Tapi tidak menghilangkannya sama sekali. Lalu sayapun berusaha bersabar. Mengingat tak ada yang bisa saya lakukan di pulau itu kecuali melanjutkan semua usaha yang sedang saya lakukan dan berdoa *ya iyaallaaaaahh *
Namun yang paling menyakitkan *halah * adalah saat saya menyelesaikan tugas saya dinpulau itu (selama 9 bulan), si jerawat kembali mekar bersemi lebih dahsyat, yang gede=gede pulak semua.
Suatu kebetulan pula saat saya sedang berada di jogya untuk sebuah perjalanan jiwa *tsaaahh * , teman baikku, faisal, lah yang memperkenalkan sayapada sebuah klinik kulit bernama ERHA 21. Menurutnya jerawatnya sembuh disana.
Sejak saat itu kaki saya terikat disana.
Sembuh tapi Ketagihan
Harus diakui si ERHA itu emang sih nyembuhin dan bikin kulit mulus. Tapi sebulan aja diberhentiin obatnya, langsung deh itu jerewi batu yang mirip bisul pada unjuk gigi. Selama dua tahun, tiap 2-3 bulan sekali saya pun musti bolak balik ke klinik itu. Bayangkan untuk sekali perawatan saya harus merogoh kocek 400-900 ribu rupiah. Lama-lama kan eike jadi muak bookkk..
Sejak 8 bulan yang lalu saya memutuskan berhenti menggunakan produk ERHA. Dan seperti dugaan saya si jerewi batu itupun datang kembali. Dan seorang teman menawarkan sebuah klinik langganannya. Menurutnya ia dan keluarga cocok dengan klinik itu. Sesudah mencoba 3-4 bulan, tak ada perubahan apapun yang dirasa. Maka sayapun memutuskan untuk mencoba klinik lokal di kota dimana saat ini saya berdomisili.
Meski antrian yang panjang dan besarnya biaya sama dengan klinik ERHA, namun saya pun merasa puas. Namun ternyata sang jerewi kembali ke wajah dua bulan sesudahnya. Kata sang dokter itu karena saya alergi produk pemutih yang ia berikan utnuk menghilangkan bekas jerawat saya.
Di tengah kemuakan saya akan ini semua, iseng-iseng saya mencoba membeli tea tree seriesnya The Body Shop. Facial Wash & Toner serta Bemish Fade Night Lotion.
Hasilnya seminggu setelah pemakaian, wajah saya terlihat lebih cerah dan minyaknya berkurang. Jerawat juga semakin sedikit. Lalu saya memutuskan untuk membeli Tea Tree Oil untuk mengobati jerawat yang masih saja datang dan pergi.
Facial Washnya tak terlalu banyak menghasilkan busa. Tapi terbukti ampuh menghilangkan minyak di wajah saya. Saat dipakai, kulit wajah terasa cekit-cekit. Mungkin efek tea tree nya mulai bekerja.
Tonernya juga terbukti ampuh mebuat kulit terasa segar setelah dicuci. Pori-pori juga terasa mengecil
Lotion ini lumayan ampuh menbgilangkan/menipiskan bekas jerawat diwajah saya. Saat digunakan malam, keesokan paginya kulit terasa halus dan tak berminyak.
Biar kecil, tapi tea treeoil ini sangat ampuh menyembuhkan jerawat kecil maupun besar yang gemar mampir di wajah saya.
Kesimpulanya, produk Tea Tree The Body Shop ini:
(+)Sangat ampuh memerangi jerawat, meski tidak 100 % sembuh, mengingat jenis kulit saya saat ini sensitive, oily dan acne prone.
(+) isinya banyak, sehingga bisa dipakai untuk 3-4 bulan)—untuk toner dan facial washnya
(-) Harganya lumayan mahal untuk lotion dan tea tree oil nya
Overall saya sangat puas dengan produk ini. Repurchase? Sure!
Subscribe to:
Posts (Atom)