 |
Bukit Paya Meuligo: adalah sebuah bukit yang merupakan lokasi istana terakhir Kesultanan Pereulak. Dibukit ini ada sebuah kolam yang konon merupakan tempat pemandian putri Nurul A'la (putri dari sultan terakhir) |
 |
Komplek Pemakaman : Makam Sultan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah, berada di komplek ini. Makam terletak di dalam sebuah dayah kecil asuhan Tengku H. Abdullah Muhammad |
 |
Makam Sultan yang tidak terawat: Ini merupakan makam Salah Satu Sultan Pereulak yang tidak terawat. Terletak di Desa Paya Kalui, 2 km dari Desa Gandrong Kecamatan Pereulak Kota, Aceh Timur. |
 |
Memiliki Mata Uang Sendiri: Salah satu uang yang berlaku pada masa keemasan Kerajaan Kesultanan Pereulak. Benda ini saya abadikan saat saya berkunjung ke Museum Tuuku Chik H M Tayeb |
 |
Museum : Museum Pribadi milik keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Thayeb yang terbengkalai dan jarang dibuka |
Diakui atau tidak, sejarah mencatat bahwa Islam beraliran
Syiah pernah berjaya di Aceh. Salah satunya di masa Dinasti Kerajaan Pereulak
Hal ini seperti diungkapkan oleh Basri, Ketua Yayasan Monisa
(Monumen Islam Asia Tenggara). Menurutnya, Aliran Syiah pernah berjaya di masa
lalu selama 100 tahun, hingga
kemudian muncul aliran Suni. “Sempat
terjadi pertentangan diantara kedua alira tersebut,” ungkap lelaki kelahiran 50
tahun yang lalu itu.
Namun hingga saat ini ajaran
Syiah hanya tinggal segelintir orang saja yang masih mengikuti dan
mengembangkannya. Itupun secara sembunyi-sembunyi. “Ada seorang tokoh Syiah
yang hingga kini masih ada di sini bernama Sayed Hasem. Beliaulah yang masih
berusaha mengembangkan Syiah di
sini. Meski berasal dari wilayah ini, namun beliau tak menetap disini. Melainkan
kerap bolak balik ke Malaysia,” tambah Basri.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Tengku H. Abdullah Muhammad, sang juru kunci makam Sultan Alaidin Said Maulana,
Raja I Pereulak. Menurutnya, Islam aliran Syiah pernah hadir dan berjaya di
wilayah Pereulak. Namun saat ini penganut aliran tersebut sudah sangat sulit
ditemukan. “Dulu memang sempat ada
pertentangan antara penganut Syiah dan Suni. Namun sekarang sudah tidak ada
lagi, karena kami disini sudah Suni semua.” Ungkapnya. Namun senada dengan
Basri, ia pun mengakui bahwa masih ada sekelompok kecil masyarakat di wilayah
Pereulak yang masih menganut dan berusaha mengembangkan aliran Syiah tersebut.
“ Ada segelintir keturunan Sayed yang kembali dari Malaysia yang masih memegang
dan menjalankan aliran tersebut. Hanya mereka. Selain itu tidak ada,”
tambahnya.
Saat disinggung apakah masih ada
sisa-sisa ajaran Syiah yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat, sebut
saja peringatan Assyura, Basri dan Tengku Muhammad dengan serta merta mengakui
bahwa masyarakat memang masih merayakan peringatan Assyura, namun dengan
buru-buru pula mereka menampik bahwa peringatan Assura itu adalah warisan
ajaran Syiah. “Sebenarnya
peringatan hari Asyura atau hari Al Husen itu bukan hanya milik orang Syiah,
tapi juga milik umat muslim secara keseluruhan. Dalam
kitab manapun hari Assyura itu tercantum. Jadi bukan murni ajaran Syiah,” papar
Tengku Abdullah.
Dalam
sebuah artikel berjudul Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh, yang
ditulis oleh bekas Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan
Nasional, almarhum Hasballah M. Saad menyebutkan
dalam beberapa kesenian Aceh seperti tari Seudati dan Saman terdapat simbol
kebudayaan muslim beraliran Syiah di Aceh. Simbol itu seperti memukul-mukul
dada sendiri, yang dilakonkan oleh para penari Saman.
Masyarakat Aceh juga mengenal
tradisi peringatan hari Asyura, yakni Peringatan hari pembantaian Hasan-Husain.
Meski tak diperingati secara besar-besaran layaknya maulid Nabi dengan khanduri
raya di Aceh namun pada peringatan Asyura sebagian warga Aceh berpuasa satu
sampai tiga hari dan dikenal juga tradisi membagi-bagikan bubur beras, yang
disebut dengan bubur Asyura, kepada sesama jiran. Biasanya hanya mereka
yang berkecukupan yang membagikan bubur Asyura tersebut.
Hikayat Sejarah Kerajaan
Pereulak
Meski Kerajaan Pereulak tercatat
sebagai tempat dimana Isalam pertama kali menjejakkan kakinya di Asia Tenggara,
namun situs peninggalan kerajaan tersebut seakan terbengkalai dan nyaris
terlupakan. Tak ada puing-puing bekas bangunan atau benda bersejarah yang
tersisa. Yang saat ini tertinggal hanyalah beberapa makam para Sultan dan
keluarganya yang tersisa di beberapa tempat.
Salah satunya di Desa Gandrong,
Kecamatan Pereulak Kota. Aceh Timur. Dengan menempuh 50 menit perjalanan dari
Kota Langsa, lalu dilanjutkan dengan ojek selama 20 menit, maka sampailah saya
di lokasi makam Sultan Pertama Dinasti Kerajaan Pereulak tersebut. Lokasi makam
berada di sebuah dayah (pesantren) kecil yang sunyi. Setelah saya bertanya pada
penduduk sekitar, ternyata dayah tersebeut hanya beraktivitas sore hingga
malam. Sang juru kunci makam, Tgk. Abdullah Muhammad tak menetap disana, namun
di rumah nya yang hanya berjarak 30 meter dari lokasi tersebut.
Menurut sang juru kunci makam,
Tengku Abdullah Muhammad, sebelum masuknya Islam, wilayah Pereulak sudah
memiliki hubungan langsung dengan para pedagang dari manca Negara seperti Arab,
Cina, India dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perdagangan kayu
Pereulak (yang kemudian menjadi asal susul nama daerah ini) saat itu. Kayu
Pereulak saat itu dikenal sebagai bahan baku yang sangat dicari untuk pembuatan
kapal, dan perabot rumah tangga lainnya.
Lalu pada tahun
173 H. (800 M) datanglah sebuah kapal yang membawa 100 orang romongan
pendakwah (disebut ARMADA DAKWAH) yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy,
Palestina, Persia dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di
bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing
mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan,
pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.
Salah seorang dari pendakwah itu
yang bernama Said Ali Al Muktabar
(yang merupakan cucu Khalifah Ali Bin Abi Thalib) menikah dengan salah
seorang putrid dari kerajaan Pereulak yakni : Putri Makhdum Tansuri. Dari hasil
pernikahan ini lahirlah Said Maulana Abdul Aziz Shah yang kemudian nantinya
menjadi Dinasti Pertama Kerajaan Islam Pereulak.
Setelah kurang lebih selama 50
tahun para anggota Armada Dakwah
ini menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat secara kuat dan
mendasar, maka tanggal 1 Muharram 225 H (840 M)
Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak
pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Beriringan
dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak
dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah
sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa Armada
Dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak saat ini.)
Dalam
kesultanan kerajaan Pereulak terdapat 18 Sultan yang sempat memerintah:
1.
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840 – 864)
2.
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864 – 888)
3.
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 –
913)
4.
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915 – 918)
5.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)
6.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)
7.
Sultan
Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956 – 983)
8.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat [5] (986 – 1023)
9.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059
10.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)[
15.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200 )
16.
Sultan
Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17.
Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230 – 1267)[
Menurut Tengku Abdullah, meski masih banyak
banyak pihak yang hanya mengakui bahwa Samudra Pasai lah kerajaan Isalam
pertama di Aceh, namun harus diakui
sejarah mencatat bahwa istri dari Raja Samudra Pasai yang Pertama (Malik
Al Saleh) merupakan putri Sultan ke-9 Raja Pereulak yakni putri dari Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan
Berdaulat yang bernama Putri Ganggang.
Menurut lelaki yang telah menjadi juru kunci makam sejak 12 tahun
yang lalu ini, setelah Sultan terakhir Pereulak yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan
Berdaulat wafat, kerajaan Pereulak
disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera
Pasai yakni Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra dari Al Malik Al-Saleh.
SISA-SISA KERAJAAN
PEREULAK
Tidak ada yang tersisa selain makam-makam para raja
yang tersebar di beberapa tempat saja. Istana terakhir milik sang putrid Nurul
A’la terdapat di sebuah bukit di Desa Paya Meuligo, Kecamatan Pereulak, Aceh
Timur. Letaknya sekitar 8 km dari ibukota kecamatan Pereulak. Bukit tersebut
berada di belakangs ebuah warungNamun sayang, yang tersisa hanya sebuah rawa
kecil, bekas kolam pemandian putrid Nurul A’la. Menurut Basri, dulu, di
kolam tempat permandian Nurul A’la tersebut, orang-orang kampung yang ingin
melaksanakan hajatan, misalnya kawinan atau sunatan, bisa meminjam piring
disana. Bagaimana bisa? “Malam-malam ditaruh keranjang di bibir kolam itu.
Paginya sudah ada piring-piring dan gelas di dalam keranjang itu,” katanya. Hal
itu didahului dengan prosesi bakar kemenyan.
Dari
mana piring-piring dan gelas tersebut berasal? “Dari kolam itu,” kata Basri.
Setelah kenduri, menurutnya, piring itu dikembalikan ke sana, dimasukkan ke
dalam keranjang dan ditaruh di bibir kolam. Tapi belakangan, piring-piring itu
tidak muncul lagi. Konon kabarnya ada seorang warga yang iseng menukar salah
satu piring tersebut. Ia suka piring itu karena suka akan keindahan piring
tersebut. “Namun
karena kecurangannya tersebut
sejak saat itu masyarakat tidak lagi diizinkan meminjam piring-piring
tersebut” ungkap basri tersebut dengan yang palsu, maka ‘keajaiban’ tersebut
tidak bisa ditemui lagi hingga saat ini.
Hal
ini juga diamini oleh Nurhayati (50), salah seorang warga desa Bandrong.
Menurutnya, ia dan warga desanya percaya dengan kemunculan perabotan kerajaan
dari dalam kolam tersebut. Menurutnya, ibunya juga sempat menyimpan mata uang
kerajaan tersebut. Namun saat ini ia tak tahu menahu keberadaan benda
bersejarah tersebut.
Tengku Abdullah, sang juru kunci membenarkan bahwa saat ini
sisa-sisa kerajaan Pereulak nyaris tak bisa ditemukan lagi. Namun ia
membenarkan ada beberapa barang peninggalan kerajaan seperti mata uang,
silsilah dan senjata jaman Kesultanan Pereulak, masih disimpan oleh beberapa
orang. Salah satunya, Hakim, salah seorang mantan mukim (mukim adalah sekumpulan desa, namun hirarkinya di bawah kecamatan, red)
setempat. Beliau masih menyimpan beberapa mata uang masa Kesultanan Pereulak di
masa lalu. Namun sayang, orang yang dimaksud tidak berada di tempat saat saya
berusaha mengunjungi rumahnya.
Selain Hakim, adalah keluarga Teuku Chik Haji Muhammad Tayeb
yang juga merupakan salah satu dari segelintir orang yang masih menyimpan
barang peninggalan kerajaan tersebut. Bagaimana ia bisa mendapatkannya? Beliau
merupakan salah Ulee Balang ke 8
dari Kerajaan Pereulak, yang berkuasa pada tahun 1914-1934)
Setelah wafatnya Sultan terakhir dari Kerajaan Islam
Pereulak, maka kerajaan dibagi dalam wilayah-wilayah yang dipimpin oleh seorang
Ulee Balang.
Sisa-sisa benda bersejarah tersebut dirawat dan ditempatkan dalams
ebuah Museum Pribadi yang bernama Museum HT Chik Muhammad Tayeb yang terletak
di jantung Kota Pereulak. Sayang museum tersebut kurang terawatt dan tidak
mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga jarang bisa dinikmati dan
dikunjungi oleh masyarakat umum. Menurut salahs eorang warga sekitar, museum
tersbut hanya dibuka jika ada perayaan tertentu saja. Beruntung saya bisa masuk
ke dalamnya. Sayang tidak seorangpun yang bisa menjelaskan kepada saya tentang
asal muasal barang yang terdapat dalam museum tersebut. Selain benda bersejarah, beberapa makam para Sultan dan keluarga yang bisa ditemui saat ini.