Thursday, April 21, 2011

Tentang Pulang




Pulang buat sebagian orang adalah hal yang ditunggu, apalagi jika ia adalah seorang perantau.

Namun entah mengapa sejak belasan tahun yang lalu, kata PULANG tak selalu suatu hal yang ‘selalu’ menyenangkan buat saya “si anak hilang” ini.
Saya pun tak pernah tau pasti penyebabnya. Besar dugaan saya hal ini disebabkan tak lebih oleh emotional attachment yang saya miliki ke rumah amatlah kecil. Namun ini bukan tak beralasan. Karena sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama, saya sudah “pergi” dari rumah alias tinggal di asrama. Saya hanya pulang 2 minggu atau sebulan sekali. Itupun hanya beberapa hari saja. Saat libur panjang (biasanya 2 mingguan), maka 5 hari pertama adalah heaven. The rest is hell.

Maka saat saya duduk di bangku SMA, dan pulang ke rumah alias tidak tinggal di asrama lagi, saya pun tak kunjung akrab dengan penghuni rumah. Mungkin penyebabnya adalah aturan yang diterapkan orang tua saya; saya dicekoki kegiatan ini itu yang membuat saya sejak Senin-Sabtu dari pagi hingga sore tak pernah bisa berlama-lama di rumah. Dari madrasah sore, hingga les ini itu. Saat malam tiba, sehabis magrib, maka saya pun tak pernah diperbolehkan menonton tivi kecuali saat acara Dunia Dalam Berita yang disiarkan oleh stasiun TVRI saja.Walhasil saya tak pernah merasakan “getar-getar cinta” *saelaaaaaaaa * yang seharusnya menyebar di seluruh penjuru rumah.
Belum lagi, saat saya “dikirim” ke Medan, hanya sehari berselang saat EBTANAS berakhir, dengan alasan agar saya bisa segera mengikuti program bimbingan tes secepatnya demi mendapatkan bangku kuliah di PTN.Piuuhh.

Lalu saat saya duduk di bangku kuliahpun, kondisi yang sama saat saya masih tinggal di ssrama pun terulang kembali. Saya memang tak wajib pulang sebulan sekali, karena ayah saya lah atau anggota keluarga lain yang biasanya mengunjungi saya demi seamplop jatah bulanan, karena saat itu transfer via bank kayaknya belum ngetren (kebayang kan tahun berapa saya berasal? :p ), dan karena keribetannya ayah saya juga tak memilih wesel sebagai media pengiriman jatah bulanan saya. Oleh karenanya sayapun pulang hanya saat ada tanggal merah, atau libur semesteran. Dan suasananya nyaris sama: the first week is heaven, the rest is hell.

Why heaven? Karena di minggu pertama ibu dan bapak saya masih akan bersikap manis (baca: tidak bawel, tak doyan ngomel, baik hati, royal, dan bernada suara rendah). Then why it turns to be a hell? Saat semua orang berubah menjadi temperamen, bawel, hobi ngomel apalagi kalo saya males ngepel, bisa-bisa diketapel *lebay *
Oleh sebab itu sodara -sodara, persisnya entahs ejak kapan, saya lupa, saat pulang saya merasa harus “menyetel “ diri saya ke mode “tertentu” (baca: anak manis, pendiam, no somoking, no rock music, ga suka keluyuran dan semacamnya). Dan hasilnya sangat manjur untuk meminimalisir pertengkaran, kemarahan, kebawelan dan “kemungkinan buruk” lainnya.

Namun sayangnya, tentu saja hal itu membuat saya harus berkepribadian ganda dan di sisi lain, juga membuat orang rumah saya tak pernah tau saya ini manusia seperti apa, karena yang mereka tau hanyalah bahwa saya adalah seorang gadis penurut, pendiam, tak suka berdebat, pokoknya yang baik-baiklah :-D

Sayang sekali.

Mereka melupakan bahwa saya juga manusia biasa yang sangat labil dan terkadang terhanyut oleh “lingkungan”. Bahwa saya juga terkadang butuh “telinga” untuk mendengar segala keluh kesah. Bahwa saya juga memiliki hobi yang selama ini berusaha sekuat tenaga saya tutupi dari mereka, karena sejak aawal saya sudah mencium bahwa orang tua sya tak pernah setuju dengan hobi saya ini (namun anehnya, saat adik2 saya memiliki hobi yang sama, tapi mereka tak pernah ditentang..well..they are boys J ). Singkat kata saya punya kepribadian ganda. Dan pulang adalah saat saya “menggunakan” kepribadian saya yang satunya lagi untuk modal saya bersosialisasi dengan orang rumah. What a life.

Makanya tak mengherankan saat seminggu lalu, sejak bayang-bayang kemungkinan saya untuk “menyerah kalah” dan pulang, maka sepanjang siang dan malam saya seperti dibayang-banyangi mimpi buruk. Karena pulang bagi saya adalah mimpi buruk. Pulang dalam konteks ini adalah kembali dan menjadi penghuni tetap rumah orang tua saya. Meski di sana ada malaikat kecil saya yang sangat saya rindukan tiap hari. Tapi saya tak yakin saya akan betah berlama lama di sana. Aneh? Memang. Tapi itulah yang terjadi selama bertahun tahun. Saat orang-orang bilang : home is where the heart is maka saya akan dengan lantang mengatakan: definitely rite. So where is your home?

No comments:

Post a Comment